AMEN PUJI TUHAN. TYM

Salve berkah Dalem salam kasih kristu amin

Pak Acunk, terima kasih pertanyaannya. Jika bertanya soal kasus perkawinan, maka mesti ada informasi yang SANGAT MENENTUKAN, yakni: apa agama pasangan itu (katolik, protestan atau non-baptis (Hindu, Budha, Konghucu, Islam)?, karena ini menentukan jawaban. Saya andaikan saja dalam pertanyaan Anda di atas bahwa pasangan itu keduanya beragama Katolik, lalu cerai, dan lalu salah satu menikah di Gereja BUKAN KATOLIK lagi. Apakah perkawinan kedua itu SAH? Nah, jika seperti ini kasusnya, maka jawabannya TIDAK SAH menurut Hukum Gereja Katolik. Sekali lagi, kalau bertanya, mesti jelas agama apa pasangan itu. ...Tuhan memberkati

Iya ..apalagi cewek katolik .byk bgt yg mualaf Krn dibikin hamil oleh pacar muslimnya..Krn di Islam mmg di bolehkan menghamili perempuan kafir asal mau mualaf

Pendidikan dalam keluarga mesti diperkuat. Dalam Kitab Suci dan ajaran resmi Gereja tampak jelas bahwa orangtua merupakan pendidik (guru) dan rasul yang pertama dan utama bagi anak-anak di dalam rumah. Maka, orangtua perlu menjadi orangtua bagi anak-anaknya yang notabene lahir dan hidup dalam kultur "generasi Z".

Modus ini hanya dapat diatasi dengan tetap teguh terhadap iman Katolik, walau tidak jadi menikah secara Katolik. Tidak perlu malu karena punya anak ("tanpa bapak"). Contoh untuk ini adalah Sheila Marcia yang tetap mempertahankan imannya daripada menikah tapi harus pindah agama.

Ternyata suaminya mengizinkan beliau untuk kembali ke Katolik. Mari kita doakan proses kembalinya ke Katolik

Terima kasih juga Mbak Yoannita. Tuhan memberkati

@PostinusGuloOSC AMEN. 🙏🏻

Terima kasih Pak Kristian atas sharing perjalanan iman Bapak menjadi Katolik dan juga menantu menjadi Katolik. Di Amerika ada banyak yang akhirnya memutuskan menjadi Katolik. Misalnya, Scott Hahn, dan Dr. David Anders, dll. Pengalaman iman Dr. David bisa dibaca di sini: chnetwork.org/story/a-protestant-historian-discovers-the-catholic-church-conversion-story-of-a-david-anders-ph-d/. Pada tahun 2023 lalu, ada berita bahwa 6 Uskup Gereja Anglikan juga menjadi Katolik. Beritanya bisa dibaca di sini: www.osvnews.com/2023/06/19/anglican-bishop-becomes-catholic-says-discernment-is-shaped-by-whisper-of-gods-voice/#:~:text=LIVERPOOL%2C%20England%20(OSV%20News),of%20Our%20Lady%20of%20Walsingham. Dari mereka ini juga sekaligus kita belajar bahwa mereka tidak menjelekkan agama yang mereka tinggalkan. Mereka tetap rendah hati dan membangun persaudaraan kepada siapapun, mereka terapkan cara bertindak Yesus. Maka kita panggil orang-orang yang akhirnya memutuskan menjadi seorang Katolik untuk meneruskan tindakan dan kehendak Yesus: bercengkerama dengan siapapun, bersaudara dengan siapapun. Karena itu, tidak menjelek-jelekkan agama atau Gereja yang ditinggalkan. Tuhan memberkati kita semua

Luar biasa!!!. Tuhan Yesus memberkati 👍🙏

Hallo Mbak Lisna. Tuhan memberkati selalu

Amen 🙏 ✝️slamat pgi, pastor 🙏

Sama-sama Mbak Yoannita atas kesetiaan menonton katekese kami dalam Kanal KZbin ini. Tuhan memberkati

@PostinusGuloOSC AMEN. 🙏🏻

Santo Yohanes Paulus II (dalam Familiaris Consortio) dan Paus Fransiskus (dalam Amoris Laetitia) sungguh menyadarkan kita bahwa ada banyak pasangan yang mengalami ketidak-adilan dari pasangannya. Ada banyak yang mengalami KDRT, ada banyak yang ditinggal begitu saja. Ada banyak yang diberi berbagai beban yang sungguh melukai. Atas fakta-fakta itu, maka Santo Yohanes Paulus II dan Paus Fransiskus, meminta keluarga-keluarga, calon pasutri, dan Gereja agar sungguh mempersiapkan perkawinan. Masa pacaran perlu dipahami sebagai masa mempersiapkan diri ke jenjang perkawinan. Jika pada masa pacaran sudah tahu ada indikasi bahwa calon pasangan Anda akan melakukan kekerasan, maka pertimbangkan baik-baik: apakah Anda sanggup hidup bersamanya sebagai suami/istrinya? Jika tidak sanggup, ya jangan "nekat" menikah dengannya. Jika Anda "nekat", berarti Anda sudah mempertimbangkan kesanggupan Anda. Saya cukup lama terlibat mendampingi keluarga bermasalah. Tapi ada kecenderungan begini: menyalahkan orang lain. Dalam pernyataan di atas pun ada kesan seperti ini. Padahal, Gereja (yakni para Romo di paroki dan juga beberapa awam yang menjadi Konselor perkawinan) mendengarkan kasus-kasus umat dan bersama-sama mencari solusi. Apakah umat mau dengan rendah hati datang ke romo parokinya? Apakah mau datang ke Konselor yang direkomendasikan oleh paroki atau keuskupan? Bagus sekali pernyataan Anda ini: "Tidak ada manusia yg ingin gagal dlm perkawinan". Tapi, jika ini sudah sungguh disadari, lalu apakah SEBELUM MENIKAH, sudah sungguh mempertimbangkan karakter calon pasangan? KDRT itu apakah"tiba-tiba"? Apakah pasangan langsung berubah 180 derajat? Apa pemicunya? Apa penyebab dari perubahan ekstrim itu? Apakah tidak ada indikasi kekerasan pada masa pacaran? Jika Anda sudah tahu indikasi itu, lalu mengapa memutuskan menikahinya, dan bahkan mengucapkan janji perkawinan: "saya mencintaimu, saya menjadi pasanganmu, dalam untung dan malang, waktu sakit dan sehat" (ini mau mengatakan dalam segala kondisi kehidupan). Dalam beberapa hari ini, saya menerima direct message di mana beberapa orang berkisah mengenai permasalahan keluarganya. Dan, menurut mereka masalahnya adalah KDRT. Jadi, sepertinya KDRT itu sudah menjadi kasus umum. Nah, kalau KDRT itu "umum terjadi" atau "banyak terjadi", apakah "tidak ada indikasi sama sekali sebelum menikah"?

@@PostinusGuloOSC tidak ada indikasi Romo. Kalo sedari sebelum nikah ada indikasi tentu kami pun ada pertimbangan utk tidak menlajuti hubungan ke pernikahan.