Рет қаралды 3,107
Kajian Kitab Al Hikam
Di asuh oleh Romo KH. Moch. Jamaluddin dari Tambakberas Jombang Jatim.
Beliau bernama KH. Moh. Djamaluddin bin Achmad bin Hasan Mustajab bin Hasan Musthofa bin Hasan Mu’ali. Lahir pada 31 Desember 1943 di kampung Kedungcangkring Desa Gondanglegi Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk. Ayah beliau bernama Achmad bin Hasan Mustajab dan ibunya bernama Hj. Mahmudah / Djumini (nama sebelum haji) binti Abdurrahman bin Irsyad bin Rifa’i. Beliau adalah anak ketiga dari empat bersaudara, yaitu:
1. Imam Ghozali yang meninggal pada umur 6 tahun
2. Jawahir
3. Moh. Djamaluddin
4. Zainal Abidin.
TENTANG KITAB AL HIKAM
Kitab Al-Hikam ini termasuk kategori kitab tasawuf yang ditulis oleh seorang ulama besar dan guru sufi bernama Syaikh Ahmad ibn Muhammad ibn Atha’illah as-Sakandari. Ibnu Atha’illah adalah tokoh penting dalam Thariqah Syadziliyah, yang dalam tradisi NU, thariqah ini termasuk salah satu dari Thariqah Mu’tabarah an-Nahdliyah.
Kitab al-Hikam mengandung beberapa ajaran penting tentang pengelolaan diri, antara lain:
1. Orang yang arif adalah orang yang tidak membanggakan amal ibadahnya. Orang yang bangga dengan amalnya kurang pengharapan kepada Allah, sehingga apa saja yang diperolehnya dianggap karena amal ibadahnya, bukan karena rahman dan rahimnya Allah. Sedangkan orang yang arif/ bijaksana, dalam meneguhkan imannya kepada Allah, selalu berpegang teguh kepada kekuasaan dan iradah yang ada pada Allah SWT.
2. Amal ibadah yang kuat tegak dan kokoh ikatannya dengan iman ialah ibadah yang dilaksanakan oleh hati yang ikhlas. Karena ikhlas adalah ruh amal, dan amal seperti itu menunjukkan tegaknya iman. Apabila amal ibadah tidak dilandasi keikhlasan maka akan membawa si hamba menjadi angkuh dan lupa diri.
3. Hati yang di dalamnya hidup dengan keimanan akan merasa sedih apabila iman dan ta’at itu hilang dari padanya. Hati yang beriman itu sangatlah senang apabila ia telah melaksanakan kebaikan atau ketaatan.
4. Orang yang beramal dengan menanti-nanti waktu senggang sama halnya dengan orang yang dipermainkan oleh waktu. Waktu berjalan terus, sedangkan waktu luang pun belum juga ada, sehingga amal pun belum dilaksanakan. Apabila waktu beramal sangat sempit, maka peluang untuk beramal pun boleh jadi tidak mencukupinya.
5. Apabila manusia memahami suatu cobaan yang datang dari Allah dan diterima dengan keridhaan hati, maka cobaan itu akan dirasakannya menjadi sesuatu yang sangat ringan. Allah memberi cobaaan kepada para hamba-Nya, tidaklah berarti Allah membencinya, akan tetap vci Allah menunjukkan kasih sayang dengan memperhatikan hamba yang dicoba itu.