Рет қаралды 8,021
Album Piluh Alpiah Makasêbapê
Pengasuh Bayi, Ade Irma Suryani Nasution
Pahlawan Revolusi Indonesia
Bagian 3. PERJUMPAAN DENGAN IBU JOHANA NASUTION GONDOKUSUMO
Penulis : Alffian W. P. Walukow, S.Pd, M.Pd.
Editor : Jevery Paat, S.Pd.
Penata letak : Tim Azkiya
Desain sampul : Jevery Paat, S.Pd.
Alffian W. P. Walukow, S.Pd., M.Pd
Melalui Ibu Satrio, ibu Nasution memohon kepada
Yayasan untuk di berikan seorang pengasuh bayi, karena
saat itu ibu Nasution baru saja melahirkan. Ibu Satrio dan
suaminya adalah salah satu Pembina pada Yayasan Tilaar. Saat
berkunjung ke Yayasan, mereka mendapat penjelasan detail
mengenai calon pengasuh bayi yang akan diberikan kepada
Ibu Nasution. Setelah menjelaskan keunggulan dari calon
pengasuh bayi, dipanggillah seorang siswa bernama Alpiah
Makasebapê untuk menghadap. Alpiah sangat terkejut, di
asrama dia menangis dan menolak dengan dua alasan , “Saya
ini orang miskin, saya takut Tentara” kata Alpiah.
Alpiah pernah mengalami peristiwa traumatik dengan
“Tentara”. Dikisahkan ; pada suatu hari saat sedang dinas
malam di Rumah Sakit Liun Kendage Tahuna, tempatnya
bekerja diserang oleh sekelompok Tentara (TNI) pada tengah
malam. Pasukan TNI (dari kelompok laskar rakyat) mengira
bahwa gedung tempatnya bekerja dijadikan markas oleh
Tentara Permesta.
Malam itu Alpiah sangat ketakutan. Saat menjelang siang
dia dan teman-temannya keluar dari Rumah Sakit. Di gerbang
rumah sakit terlihat seorang tentara sedang keluar dari parit.
Dengan penuh rasa takut, Alpiah terus melihat seseorang
yang sedang keluar dari parit, tentara itu berjalan ke arahnya
semakin dekat. Betapa terkejutnya Alpiah, ternyata tentara
tersebut adalah pamannya sendiri bernama Frans Lahengkô.
Pamannya langsung mendekati dan memeluk Alpiah yang
sedang ketakutan, sambil menjelaskan perihal penembakkan
semalam terjadi karena kesalahan informasi.
Sehari setelah ditetapkannya Alpiah oleh Yayasan
Tilaar sebagai pengasuh bayi dari Keluarga A.H. Nasution,
diantarlah Alpiah oleh pengurus Yayasan ke rumah Keluarga
A.H. Nasution di Jl.Teuku Umar pada bulan Februari tahun
1960. Setibanya di rumah, langsung diberikan pengarahan
oleh Ibu Nasution. Saat itu Alpiah diperkenalkan dengan bayi
yang akan diasuhnya bernama Irma Suryani. Saat itu Irma
baru berusia 2 minggu. Irma Suryani dilahirkan pada Tanggal
9 Februari 1960 di RS. St. Carolous - Jakarta.
Lembaran baru kehidupan mulai dilalui Alpiah, tetapi
banyak hal yang mengganjal hatinya. “Seumur-umur,
belum pernah saya tinggal di rumah seperti ini“ kata
alpiah. Tatap matanya kesana-kemari seperti “kaget” melihat
ruang-ruang yang besar, perabotan yang menurut pandangan
Alpiah adalah perabotan mewah. Semua itu belum pernah ia
jumpai sebelumnya. Beberapa hari awal, dengan berat harus
menyesuaikan diri.
Hari pertama tiba di rumah Nasution, Alpiah ditanyai oleh
“oma bule” (mamanya ibu Nasution). “Kami harus memanggil
kamu dengan suster atau Alpiah?” Alpiah menjawab,
panggil saja Alpiah. Sejak saat itu Bapak, Ibu, Yanti, dan
Irma mulai memanggilnya Alpiah. Lain halnya dengan para
ajudan dan sopir memanggilnya “ibu suster”. Orang-orang
yang membantu bapak dan ibu Nasution di rumah, sebagian
besar adalah keluarga dan kerabat bapak dari Sumatera Utara.
Khusus dapur dan urusan rumah tangga lainnya diberikan
tanggung jawab kepada Mardiah (adik dari Pak Nasution).
Hal menarik yang diceritakan adalah : selama setahun
Alpiah tidak berani membuka kulkas (dulu di sebut almari
es). Bukan karena tak tahu, tetapi karena enggan. Bagi dia,
barang barang mewah hanya bisa digunakan oleh “tuannya”
(bapak dan ibu). Yang paling memprihatinkan adalah selama
tahun pertama, Alpiah tidak berani tidur di ranjang meskipun
ranjang untuknya tergolong mewah. Semua itu bukan karena
tak bisa tidur diranjang mewah. Baginya, semua yang mewah
adalah utnuk orang - orang kaya.
Mengapa Alpiah melakukan hal-hal seperti itu? Semuanya
bukan karena dia tidak tahu atau karena takut, tetapi karena pada dirinya masih melekat sebuah tradisi leluhurnya berupa
tradisi “tengkang” dan rasa “kerene” atau diartikan sebagai
“hormat, menghargai, tak mau merepotkan”. Tahun ke dua, apa
yang dilakukan oleh Alpiah ketahuan juga oleh “ibu”. Sejak
saat itu Alpiah dimarahi oleh “ibu”.
Meskipun “Ibu” berasal dari latar belakang keluarga
“ningrat” tetapi “ibu” tidak melihat “Alpiah” sebagai “budak”.
Ibu, bapak, dan Yanti anak tertua, memperlakukannya sebagai
keluarga sendiri. Ibu dan bapak menganggapnya sebagai
anak mereka. Hari-hari selanjutnya, Alpiah mulai terbiasa
dengan keadaan rumah. Tugas keseharian Alpiah, tidak hanya
mengasuh dan merawat “Irma” tetapi membantu “Yanti” juga.
Yanti memiliki nama lengkap Hendriyanti Sahara, lahir tahun
1952. Semakin hari, Alpiah mulai menyatu dengan keluarga
A.H. Nasution.
Simak ceritanya secara lengkap...
terima kasih