Рет қаралды 3,660
Sendratari Nawa Ratna Ring Wetaning Giri Panida "Gugurnya I Dewa Bagus Darma" dipentaskan di Panggung Terbuka Arda Candra, Taman Budaya Art Center.
Sekaa : Sanggar Seni Para Gotra Santana,
Dalem Tarukan, Denpasar.
Penaggung Jawab : Pengurus Pusat Para Gotra Santana,
Dalem Tarukan
Penasehat : I Wayan Waya, SH.
Pengarah : I Gede Parimatha
Penggagas : I Ketut Kodi., SSP., M.Si
I Ketut Gede Arcana
Koordinator : Ida Ayu Diastini
Koordinator Tabuh : I Ketut Gede Arjana
I Ketut Gede Arjana
Penata Tari : I Made Openanta
Dewa Irtawan
Made Purna
Made Sugiartha
Wayan Jaya Merta
Penata Tabuh : Wayan Darya., S.Sn
Anak Agung Gede Dalem.,S.Sn
Wayan Sukarta
Penata Kostum : Wayan Jaya Merta
Ida Ayu Diastini
Penata Lampu : Gusti Ngurah Sudibya
Artistik Director : I Ketut Kodi., SSP., M.Si
Skenario : I Ketut Kodi., SSP., M.Si
Dalang : I Ketut Kodi., SSP., M.Si
Penabuh : Sanggar Seni Taru Kusuma,
Para Gotra Santana Dalem Tarukan
Sekitar abad ke-14, Raja Samprangan menyerang Ida Dalem Tarukan yang tiada lain adalah saudaranya sendiri. Ida Dalem Tarukan dianggap melanggar aturan karena menikahkan putri raja dengan keponakannya (putra angkat). akibatnya, kedua mempelai meninggal dab Ida Dalem Tarukan mengungsi ke daerah pegunungan Tampuagan yang kala itu Ida Dalem Tarukan meninggalkan istri yang sedang hamil 6 bulan.
Di Pedusunan Tampuagan, Ida Dalem Tarukan diterima dengan baik oleh Jro Dukuh Pantunan. Jro Dukuh Pantaunan menyarankan agar Ida Dalem Tarukan pergi menuju Desa Poh Tegeh. Ida Dalem Tarukanyang begitu disayang oleh perbekel Poh Tegeh, kemudian dijadikan menantu. dari sini jugalah Ida Dalem Tarukan mendapatkan istri-istri yang lain dan menurunkan 6 orang putra dan seorang putri. Sang Putri meninggal dalam perjalanan melalui Desa Balingkang, Sukawana menjuju Sukasada, Karangasem. Dari Sukasada, Ida Dalem Tarukan kembali ke Pantaunan hidup menjadi petani, menanam bunga-bungaan bersama putra-putranya. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Dusun Pulasari (Pulasantun). Ida Dalem Tarukan kemudian menjadi seorang petani dan tidak lagi dipanggil Cokorda tapi I Gusti atau Jero (nyinep wangsa).