Рет қаралды 114
Upacara Tiga Bulanan, Supaya Bayi Tak Lagi Cuntaka
Bali sebagai gudangnya tradisi dan kegiatan spiritual keagamaan memang tak akan pernah habis untuk dibahas. Salah satu ritual dan upacara keagamaan yang sampai saat ini masih dilakukan masyarakat Hindu Bali yakni upacara tiga bulanan, atau nelubulanin atau yang biasa disebut dengan Nyambutin.
Istilah sejak manusia lahir akan selalu identik dengan rangkaian ritual yang mesti dijalani memang benar adanya bagi masyarakat Hindu Bali. Karena dari ketika seorang manusia lahir dan berstatus masih bayi, sederet ritual mesti dijalaninya. Sebut saja upacara kepus pusar atau kepus punsed, nyambutin (upacara tiga bulanan) hingga upacara ototan atau upacara yang dilaksanakan ketika si jabang bayi berusia enam bulan. Itu belum termasuk beberapa ritual lainnya, yang wajib dilaksanakan bagi si jabang bayi hingga dia remaja.
Untuk acara tiga bulanan atau nyambutin sendiri, jika dihitung secara jumlah hari memang tak identik dengan jumlah hari dari kalender yang berlaku secara nasional. Namun tiga bulan tersebut dihitung sesuai dengan kalender Bali, yakni 105 hari (1 bulan kalender bali = 35) hari. Sebuah usia bagi si jabang bayi yang setiap bagian panca indranya sudah mulai aktif, termasuk dengan pencernaannya.
Menurut beberapa sumber, disebutkan jika mulai aktifnya panca indra inilah yang nantinya akan membawa dampak positif maupun negatif pada kesucian atman atau roh si jabang bayi. Karena itulah upacara tiga bulanan ini digelar, dengan tujuan menyiapkan bayi tersebut untuk waspada akan pengaruh-pengaruh panca indra. Kemudian upacara ini juga dimaksudkan sebagai wujud rasa syukur dan terimakasih kepada Ida Hyang Widhi Wasa yang selama ini menjaga si jabang bayi, mulai dari dalam kandungan hingga lahir. Termasuk keyakinan bahwa dengan usia tiga bulan ini pula, bayi tersebut telah menjadi manusia dengan kakinya yang sudah diperbolehkan untuk menginjak tanah, termasuk untuk diberikan nama.
Ketika si jabang bayi belum menjalani upacara tiga bulanan, maka bayi itu pun masih disebut cuntaka alias belum suci. Sehingga sang jabang bayi pun belum bisa untuk memasuki areal tempat suci, termasuk di merajan rumah masing-masing.
“Jadi upacara ini memang masih rangkaian dari bayi itu lahir sampai nanti dewasa. Karena upacara telubulanan ini memiliki makna kalau si jabang bayi ini sudah tidak lagi cuntaka. Sehingga bayi ini pun sudah bisa menginjak tanah atau ibu pertiwi."
Selain itu, dengan tidak lagi cuntaka, sang jabang bayi pun sudah bisa diajak ke merajan untuk melakukan persembahyangan. Termasuk yang tak kalah penting, bahwa dengan sudah melaksanakan upacara tiga bulanan ini, sang bayi pun sudah bisa melaksanakan upacara ngutangin bok atau potong rambut.
Mengenai rentetan upacara nyambutin tersebut, untuk pertama tetap lebih dulu melakukan matur piuning di sanggah merajan. Kemudian dilanjutkan dengan upacara di pertiwi atau tanah dan juga di catur sanak, dalam hal ini di depan sanggah cucuk tempat saudara (ari-ari) si jabang bayi dikubur.
“Kemudian baru melinggihkan kumara di atas tempat tidur bayi tersebut. Setelah itu bayi itu melukat dan metataban di bale dangin dengan banten yang sesuai kemampuan,”.
Terkait dengan bebantenan, khusus ketika sang jabang bayi melukat dan natab di bale dangin, beberapa jenis banten yang digunakan seperti janganan, dsb.nya.
Sedangkan sarana bebanten yang digunakan saat sambutan di natah sebelum natab di bale dangin, yakni menggunakan bebanten sambutan.
“Kalau sarana untuk di catur sanak yang di depan nyame (tempat ari-ari dikubur) bayi tersebut, yakni ajengan biasa manut warna pengider-ider (arah mata angin),”
(Copas:BALI EXPRESS)