Рет қаралды 5,212
Salah satu unsur yang menegaskan Keraton Yogyakarta sebagai kerajaan islam adalah dibangunnya masjid-masjid. Masjid-masjid inti Kasultanan yang dikelompokkan kedalam golongan Masjid Keprabon antara lain: Masjid Gedhe di Kauman, Masjid Panepen di dekat kediaman Sultan, Masjid Suronatan di Rotowijayan, Masjid Keputren di lingkungan khusus putri dan Masjid Gedhe Mataram di Kotagede. Yang terakhir, merupakan peninggalan Mataram Islam sebelum Perjanjian Giyanti, dijaga oleh Abdi Dalem dari Yogyakarta dan Surakarta.
Kagungan Dalem Masjid Gedhe dibangun pada Hari Ahad Wage, 29 Mei 1773 M (6 Rabi`ul Akhir 1187 H /1699 Alip Tahun Jawa). Sebagai penanda, ditulis prasasti di serambi Masjid dengan sengkalan berbunyi “Gapura Trus Winayang Jalma”. Pembangunan Masjid Gedhe diprakarsai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Kiai Fakih Ibrahim Diponingrat selaku penghulu keraton. Arsiteknya seorang putra bangsa bernama Kyai Wiryokusumo.
Terdapat penambahan beberapa bangunan seperti serambi dan tempat untuk meletakkan gamelan sekaten (pagongan) pada tahun 1775 M. Pintu gerbang yang disebut regol gapuro dibangun pada tahun 1840 M. Setelah gempa besar melanda Yogyakarta pada tahun 1867 M, terdapat beberapa kali renovasi. Pada tahun 1917 M dibangun gardu penjaga (pajagan) didekat regol gapura. Pada tahun 1933 M sirap kayu yang digunakan sebagai atap diganti dengan seng wiron. Selain itu, lantai yang awalnya terbuat dari batu kali diganti dengan tegel kembang dan marmer dari Italia.
---
One of the thing that underlines the identity of Keraton Yogyakarta as an Islamic kingdom is the mosques. The core mosques of the Sultanate (Masjid Keprabon) include: Masjid Gedhe (the Grand Mosque) in Kauman, Panepen Mosque near the Sultan’s residence, Suronatan mosque in Rotowijayan, Keputren mosque in the female-only section, and the Mataram Grand Mosque in Kotagede. The last one, which was the legacy of Mataram Islam before the treaty of Giyanti, is maintained by Palace Courtiers from Yogyakarta and Surakarta.
The Grand Mosque was built on the Wage Sunday (Ahad), 29 May 1773 AD (6 Rabi’ al-Thani 1187 AD/ 1699 Alip on Javanese calendar). There is a sengkalan inscription in the porch of the mosque which says “Gapura Trus Winayang Jalma.” The construction of the Grand Mosque was initiated by Sri Sultan Hamengku Buwono I and Kiai Fakih Ibrahim Diponingrat as priest (penghulu) of keraton. The architect is a distinguished man named Kyai Wiryokusumo.
Additional buildings, like porch and a place to put the gamelan for sekaten (pagongan), were added in 1775 AD. The gate, called regol gapuro, was built in 1840 AD. After the huge earthquake in 1867 which hit Yogyakarta, several renovations took place. In 1917 AD, a guard station (pajagan) was built near regol gapura. In 1933 AD, the wooden roof shingles were replaced with aluminium. Besides, the stone floor was also replaced with floral printed tiles and marbles from Italy.