Рет қаралды 177
Aku selalu berpikir bahwa hidup di desa itu sederhana. Semua orang mengenal satu sama lain, dan ritme kehidupan berjalan lambat namun pasti. Hingga suatu hari, hujan deras turun tanpa diduga, merubah segalanya.
Di hari itu, aku berteduh di bawah pohon besar dekat persawahan. Gerimis yang turun perlahan berubah menjadi hujan lebat. Dari kejauhan, aku melihat seseorang berlari kecil sambil menutupi kepalanya dengan jaket. Aku mengenalnya, itu adalah Alia, gadis yang baru pindah beberapa minggu lalu.
"Hai, Alia!" sapaku sambil melambaikan tangan.
Dia tersenyum dan menghampiriku. "Hai, Arya. Hujannya deras sekali, ya."
"Ya, sepertinya kita terjebak di sini sampai reda," kataku sambil tertawa kecil.
Kami berbicara panjang lebar tentang banyak hal; tentang desa ini, tentang kehidupannya di kota sebelum pindah ke sini, dan tentang impian kami masing-masing. Alia ternyata sangat menyukai seni lukis, sesuatu yang tidak pernah aku sangka.
"Aku sering melukis saat hujan seperti ini," katanya sambil memandang langit yang kelabu. "Ada sesuatu yang magis tentang hujan. Mungkin karena setelah hujan, selalu ada pelangi."
Aku tersenyum mendengar filosofi sederhana itu. "Pelangi di ujung hujan, ya? Indah sekali."
"Ya, seperti harapan. Selalu ada harapan di balik setiap badai," jawabnya dengan mata berbinar.
Hujan akhirnya reda. Kami berjalan pulang bersama, menikmati udara segar yang tersisa setelah hujan. Sejak saat itu, kami sering menghabiskan waktu bersama, menjelajahi desa, dan berbagi cerita.
Beberapa minggu kemudian, aku menemukan Alia sedang melukis di sebuah bukit kecil yang menghadap ke sawah. Aku mendekatinya dengan perlahan, tidak ingin mengganggu konsentrasinya. Lukisan di hadapannya menampilkan pemandangan desa kami, dengan langit yang dipenuhi warna-warni pelangi.
"Kau suka melukis pelangi, ya?" tanyaku.
Alia tersenyum, tapi kali ini ada kesedihan di matanya. "Pelangi selalu mengingatkanku pada seseorang yang penting dalam hidupku."
Aku duduk di sampingnya, penasaran. "Siapa?"
"Seseorang yang sangat kucintai, tapi sekarang sudah pergi," jawabnya singkat. "Dia mengajarkanku tentang harapan dan pengorbanan."
Aku tidak mendesak lebih jauh, merasa bahwa itu adalah cerita yang sangat pribadi. Kami duduk dalam diam, menikmati pemandangan di depan kami. Meski ada banyak yang ingin kutanyakan, aku memilih menunggu sampai Alia siap berbagi lebih banyak.
Waktu berlalu, dan aku semakin dekat dengan Alia. Suatu hari, saat kami berjalan-jalan di hutan dekat desa, Alia tiba-tiba berhenti dan menatapku dengan serius.
"Arya, ada sesuatu yang harus kau ketahui," katanya.
"Ada apa, Alia?"
"Aku... Aku punya penyakit yang serius," ucapnya dengan suara gemetar. "Dokter mengatakan tidak banyak waktu tersisa."
Aku terdiam, merasakan beratnya kenyataan yang baru saja diungkapkan. "Kenapa kau tidak pernah memberitahuku?"
"Aku tidak ingin membuatmu khawatir. Aku hanya ingin menikmati setiap momen yang kita miliki tanpa harus memikirkan itu," katanya sambil tersenyum pahit.
"Tapi, Alia, kita bisa mencari pengobatan. Kita bisa mencoba apa saja," kataku, mencoba menawarkan harapan.
"Tidak ada yang bisa dilakukan, Arya. Aku sudah mencoba segalanya. Sekarang, aku hanya ingin menghabiskan waktuku dengan orang-orang yang kucintai, melakukan hal-hal yang membuatku bahagia," jawabnya dengan tegar.
Dalam hati, aku merasa hancur. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri untuk membuat setiap momen bersama Alia menjadi berarti. Setiap hari, aku melihat pengorbanannya untuk tetap kuat dan ceria di depanku, meskipun aku tahu betapa berat beban yang ia pikul.
Hari itu, hujan turun dengan deras. Kami duduk di bawah pohon besar, tempat kami pertama kali bertemu. Alia terlihat lemah, tapi senyum di wajahnya tetap hangat.
"Arya, terima kasih sudah selalu ada di sampingku," katanya lembut.
"Aku yang seharusnya berterima kasih, Alia. Kau mengajarkanku tentang cinta dan pengorbanan," jawabku sambil menggenggam tangannya.
Ketika hujan reda, kami melihat pelangi muncul di langit. Alia menatapnya dengan mata berbinar, seolah menemukan kedamaian di sana. "Lihat, Arya. Pelangi di ujung hujan. Harapan selalu ada."
Aku memeluknya erat, berusaha menahan air mata. Hari itu, aku menyadari betapa berharganya setiap momen bersama orang yang kita cintai.
Waktu terus berjalan, dan kesehatan Alia semakin menurun. Namun, semangatnya tidak pernah pudar. Di hari terakhir kami bersama, ia memberiku sebuah kanvas kosong.
"Arya, lanjutkan melukis pelangi untukku," katanya dengan suara lemah. "Jadilah pelangi untuk orang lain, seperti kau untukku."
Aku mengangguk, berjanji dalam hati untuk meneruskan harapan dan cinta yang telah ia tanamkan. Ketika akhirnya Alia pergi, aku merasa ada bagian dari diriku yang hilang. Tapi aku tahu, di setiap hujan yang turun, ada pelangi yang akan muncul.
#fizzo
#fizzonovel
#lovestory