Рет қаралды 1,479
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Sabbā disā anuparigamma cetasā,
Nevajjhagā piyataramattanā kvaci,
Evaṁ piyo putthu attā paresaṁ,
Tasmā na hiṁse paraṁ attakāmo'ti
(Saṁyutta Nikāya I : 75)
Bila kita mengarungi dunia dengan pikiran,
maka kita akan menemukan bahwa diri
sendirilah yang paling dicintai.
Karena tidak ada siapapun yang dicintai oleh
seseorang selain dirinya sendiri,
maka perhatikan dan hormatilah orang lain
seperti kamu mencintai dirimu sendiri.
Trisuci Waisak mengingatkan tiga peristiwa suci dalam sejarah kehidupan Guru Agung Buddha Gotama, terjadi tepat pada hari purnama raya di bulan Waisak, dengan tahun yang berbeda. Ketiga peristiwa itu adalah: kelahiran, pencapaian Pencerahan Sempurna, dan kemangkatan akhir. Pangeran Siddhattha calon Buddha lahir di Taman Lumbini, Kapilavatthu, India Utara / Nepal pada tahun 623 SM. Setelah meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi pertapa, Beliau merealisasi Pencerahan sehingga menjadi Buddha di Bodhgaya pada usia 35 tahun. Sang Buddha mencapai Mahāparinibbāna, kemangkatan akhir pada usia 80 tahun di Kusinara.
Perayaan Trisuci Waisak 2568 diperingati pada tanggal 23 Mei 2024, Saṅgha Theravāda Indonesia mengangkat tema: Memperkokoh Persatuan Dalam Keberagaman. Dengan harapan besar mengimbau umat Buddha agar memaknai momen Waisak dengan refleksi pada Dhamma, untuk menumbuh kembangkan kesadaran kolektif dan kewajiban moral (etika) agar dapat memperkokoh persatuan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, momentum Trisuci Waisak tidak hanya menjadi seremonial perayaan keagamaan semata.
Kesadaran Kolektif akan Keberagaman
Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang majemuk dan kaya akan keragaman budaya. Hal itu dapat terlihat dari keanekaragaman ras, suku, adat istiadat, dan agama yang ada. Keberagaman ini selain mengandung banyak nilai positif juga memiliki dampak negatif yang wajib untuk diantisipasi. Konflik sosial atau perpecahan sosial, sebagai satu contoh, dapat terjadi sewaktu-waktu. Oleh karena itu, nilai-nilai yang menuntun pada kesadaran kolektif akan keberagaman amat diperlukan.
Di Indonesia sendiri, landasan persatuan itu telah dijelaskan dengan sempurna lewat semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, merupakan warisan nenek moyang yang sedemikian luhur. Persatuan dalam perbedaan hendaknya diterapkan demi keharmonisan.
Umat Buddha sebagai bagian dari heterogenitas bangsa Indonesia patut untuk menciptakan keharmonisan dengan berpedoman pada Dhamma, Ajaran Buddha. Keragaman merupakan suatu kewajaran dalam kehidupan bermasyarakat, karena masingmasing orang memiliki tanggungjawab perilaku (karma) yang berbeda satu sama lain. Masing-masing orang mewarisi hasil perilakunya sendiri, sehingga sudah pasti akan terjadi perbedaan dan keberagaman banyak hal dalam kehidupan ini. Meskipun terjadi berbagai perbedaan tetapi masing-masing orang mendambakan kehidupan yang nyaman.
Penerimaan kewajaran itulah merupakan bentuk dari kesadaran kolektif atas keberagaman. Sebaliknya ketidak harmonisan dalam masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, salah satu faktor itu adalah ketertutupan pandangan atau keterbatasan pengertian terhadap hal yang berbeda bahkan menimbulkan keegoisan yang tinggi. Keegoisan itu menutup munculnya kesadaran kolektif akan keberagaman.
Teladan cara hidup yang penuh toleransi dalam memandang perbedaan itu sebagai kewajaran telah ditunjukkan oleh Sang Buddha sendiri yang terekam dalam satu khotbah populer bernama Upali Sutta. Ketika Sang Buddha akhirnya menerima permohonan berulang dari pemuda Upali untuk menjadi siswa-Nya, Beliau menginstruksikan Upali untuk tetap menghormati serta menyokong guru pertamanya. Khotbah ini juga merepresentasikan bagaimana pentingnya sikap toleransi dan saling menghormati dalam perbedaan.