Рет қаралды 310
Transisi energi telah menjadi agenda global yang mendesak, didorong oleh keterbatasan sumber daya fosil dan kebutuhan mendesak akan energi bersih seiring krisis iklim yang semakin nyata. Tahun 2024 menjadi tahun yang krusial bagi Indonesia dalam menentukan arah kebijakan transisi energi, terutama menghadapi era pendidihan global (global boiling) yang lebih tepat menggambarkan krisis iklim saat ini. Sumber daya fosil yang semakin terbatas dan dampak negatif dari emisi karbon mendorong agar negara seluruh dunia, termasuk Indonesia, untuk beralih ke energi terbarukan yang lebih rendah emisi.
Sayangnya, pada tahun 2024, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan penurunan target bauran energi terbarukan dari 23 persen menjadi hanya 17-19 persen pada 2025. Penurunan target ini tampak terjadi secara mendadak, tepat satu tahun sebelum tenggat waktu yang ditetapkan, menimbulkan kekhawatiran tentang komitmen Indonesia terhadap transisi energi. Keputusan ini juga bertentangan dengan Perjanjian Paris yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 16 Tahun 2016, dan menjadi tanda kemunduran dalam upaya mitigasi perubahan iklim
Selain itu, adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menambah hambatan dalam transisi energi. Aturan baru ini menyisipkan pasal 83A yang memberikan kesempatan organisasi keagamaan untuk memiliki Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Tersirat dalam PP tersebut adanya upaya eksploitasi sumber daya batubara yang berpotensi menghambat upaya untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Hal ini berkontradiksi dengan target transisi energi Indonesia, yang seharusnya fokus pada pengembangan energi terbarukan.
Di lain sisi, Indonesia akan mengalami peralihan kepemimpinan pada 2024, tepat di periode penting di mana transisi energi perlu lepas landas. Presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto memiliki komitmen untuk agenda ekonomi karbon, khususnya melakukan percepatan transisi energi. Dalam visi misinya, Prabowo Subianto lebih memfokuskan transisi energi berbasiskan biofuel, khususnya berasal dari minyak sawit. Namun demikian, analisis IESR memperlihatkan langkah-langkah ini harus disertai dengan transparansi yang tinggi, terutama dalam mengelola program biodiesel untuk mengatasi masalah emisi yang signifikan. Perlu adanya komitmen yang kuat dan peningkatan transparansi, sehingga Indonesia dapat memberikan contoh bagi negara-negara lain dalam perjalanan menuju energi bersih dan berkelanjutan.