Рет қаралды 217,860
“Melihat Tingkah Amirmachmud…, Saya Ingin Merogoh Pistol”. Begitulah judul wawancara eksklusif tabloid DeTAK dengan Letkol TNI AD Ali Ebram yang dimuat di edisi 32 dengan cover story ‘Kesaksian Pengetik SP 11 Maret’ yang terbit 2 Maret 1999, atau terbit menjelang hari kelahiran SP 11 Maret lebih dikenal dengan sebutan Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret di tahun pertama setelah Soeharto turun dari kursi kepresidenan melalui gerakan Reformasi pada 21 Mei 1998.
Setiap tahun saat memasuki tanggal 11 Maret, sebagian bangsa Indonesia agaknya bakal kembali teringat Supersemar, surat perintah yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966 yang kemudian menjadi pintu bagi penggantian pucuk kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto.
Supersemar tampaknya bakal selalu mengiang mengingat nilai historisnya yang menandai kelahiran Orde Baru, juga karena sebenarnya tersisa kontroversi, salah satunya terkait jumlah halaman Surat Perintah (executive order) yang didiktekan dan kemudian ditandatangani Presiden Soekarno di salah satu paviliun di Istana Bogor yang ditinggalinya bersama Ibu Hartini.
Surat Perintah dari Presiden Soekarno Pemimpin Besar Revolusi kepada Letnan Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat Menteri Panglima AD di Kabinet Dwikora yang juga disebut Kabinet 100 Menteri, ditegaskan Ali Ebram, juga beberapa saksi sejarah saat itu salah satunya Dr Soebandrio (Wakil Perdana Menteri 1957-1966) terdiri dari dua halaman dengan tandatangan Presiden di halaman dua, namun kemudian naskah salinan Supersemar yang beredar luas hanyalah satu halaman meski tetap dengan tanda tangan Presiden Soekarno.
Sejarah mencatat, seperti ditulis DeTAK, pada Jumat 11 Maret 1966, itu Jakarta ramai dengan demonstrasi ribuan mahasiswa yang di antaranya bergerak ke Istana Merdeka dengan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat), yakni bubarkan PKI dan ormas-ormasnya, bubarkan Kabinet 100 Menteri, serta turunkan harga.
Bung Karno Jumat pagi itu berangkat dari Istana Bogor menggunakan helikopter menuju Jakarta guna menghadiri sidang kabinet di Istana.
Baru sekitar 10 menit memimpin sidang kabinet, suasana menjadi mencekam setelah Kol Pol Sumirat, ajudan Bung Karno, mendapat nota dari Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa yang menulis agar Presiden meninggalkan rapat karena adanya pasukan tanpa atribut yang bergerak di sekitar Istana atau Monas.
Bung Karno terhenyak membaca nota itu dan kemudian menyerahkan pimpinan sidang kepada Waperdam Leimena, dan sejurus kemudian terbang kembali ke Istana Bogor dengan helikopter.
Seperti ditulis DeTAK, berdasarkan pengakuan Amirmachmoed dalam buku ‘H Amirmachmoed Menjawab’, setelah sidang dibubarkan Amirmachmoed yang saat itu menjabat Pangdam V Jaya, bertemu Menteri Veteran Brigjen Basuki Rachmad dan Menteri Perindustrian Brigjen M Jusuf di tangga sebelah kanan Istana Negara bagian barat.
Mereka bertiga sepakat untuk datang ke rumah Menteri Panglima AD Letjen Soeharto di Jalan Agus Salim 98 yang pagi itu tak menghadiri sidang Kabinet 100 Menteri dengan alasan sakit, sebelum akhirnya mereka bertiga pergi ke Istana Bogor.
Nah, ketika bertemu Soeharto itulah, mereka dititipi surat untuk disampaikan kepada Bung Karno, yang menurut Kepala Staf Kostrad Kemal Idris kepada DeTAK, inti surat adalah Soeharto tidak akan bertanggungjawab terhadap keamanan apabila tidak diberi perintah tertulis dari Presiden Soekarno.
Begitulah, ketiga jenderal tadi berangkat ke Istana Bogor dan pada malam harinya ditandatanganilah Supersemar oleh Bung Karno.
Terlepas dari kontroversi yang menyelimuti, CARITAU.COM pada peringatan 11 Maret 2022 ini menurunkan naskah asli wawancara eksklusif tabloid DeTAK dengan Letkol Ali Ebram, staf Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa atau Pasukan Pengamanan Presiden di masa Presiden Soekarno.
Naskah wawancara Ali Ebram tersebut kami turunkan lengkap mengingat naskah asli tabloid DeTAK yang bertagline ‘Bacaan Bagi yang Berpikir Merdeka’ itu, belum secara lengkap terdokumentasi online, sehingga banyak penulisan tentang Supersemar di online yang hanya mengutip sepenggal-sepenggal pengakuan Ali Ebram.
Pertimbangan lain sehingga kami memutuskan menurunkan naskah tersebut, salah satu dari dua jurnalis (plus satu fotografer) yang saat itu mewawancarai Ali Ebram di rumahnya adalah Kukuh Bhimo Nugroho yang saat itu reporter tabloid DeTAK dan kini menjadi Pemimpin Redaksi CARITAU.COM
Jas Merah atau ‘Jangan Sekali-sekali Meninggalkan Sejarah’, begitu pesan Bung Karno. Sekali lagi, pemuatan naskah ini sekadar mendokumentasikan kesaksian di masa lalu terkait pemberitaan mengenai Supersemar, agar naskah kesaksian Ali Ebram tersebut tak lapuk dimakan zaman, mengingat naskah asli hasil wawancara tersebut hanya tercetak di lembaran kertas koran yang saat ini sudah mulai menguning dan semakin ringkih dimakan sang waktu yang telah berjalan 23 tahun.
Simak naskah asli wawancara kesaksian Letkol Ali Ebram pengetik naskah asli Supersemar di Caritau.com