Рет қаралды 2,580
Dengan adanya kemajuan globalisasi, potensi pembangunan di benua Afrika mulai muncul secara bertahap. Namun, banyak negara Afrika yang berkembang relatif lambat karena lemahnya landasan ekonomi dan kurangnya infrastruktur yang tersisa dari sejarah kolonial mereka. Sejak awal abad ke-21, Tiongkok telah berperan aktif dalam pembangunan infrastruktur di Afrika dan menjadi kekuatan utama di bidang ini. Investasi kumulatif Tiongkok di Afrika telah melebihi 700 miliar dolar Amerika Serikat setara dengan 10,500 triliun rupiah, sebagian besar digunakan untuk membangun jalan, jembatan, rumah sakit, dan sekolah, yang secara signifikan meningkatkan kondisi kehidupan dan lingkungan ekonomi penduduk lokal.
Salah satu contohnya adalah di Sungai Quanza, sungai induk Angola, di mana perusahaan Tiongkok telah menginvestasikan 4 koma 5 miliar dolar Amerika Serikat setara dengan 67,5 triliun rupiah untuk membangun pembangkit listrik tenaga air terbesar di Afrika. Pembangkit listrik tenaga air ini diharapkan dapat menghasilkan hingga 9 miliar kwatt-jam listrik per tahun dan menyediakan pasokan listrik yang stabil bagi 8 juta penduduk di Angola, signifikan mengurangi kekurangan listrik lokal. Namun, Brasil menyatakan ketidakpuasannya terhadap proyek ini, percaya bahwa perusahaan Tiongkok telah mengambil alih proyek mereka.
Untuk mengeksplorasi dampak pembangkit listrik tenaga air ini terhadap konsumsi listrik di Angola, serta alasan di balik kerja sama Angola dengan Tiongkok daripada Brasil dalam proyek ini.
Mari kita mulai, Angola, yang terletak di Afrika Barat Daya, adalah produsen minyak dan berlian penting di Afrika. Sejak kemerdekaannya pada tahun 1975, Angola telah mengalami perang saudara selama 27 tahun. Baru pada akhir perang saudara pada tahun 2002, Angola mulai memulihkan perdamaian dan pembangunan secara bertahap.
Menurut Bank Dunia, pendapat domestik bruto atau PDB Angola pada tahun 2023 mencapai sekitar 95 miliar dolar Amerika Serikat setara dengan 1.425 triliun rupiah, menjadikannya salah satu negara dengan perekonomian penting di Afrika subsahara, masih beda jauh dengan PDB Indonesia 20 ribu trilliun. Meskipun Angola memiliki sumber daya alam yang melimpah dan potensi ekonomi yang besar, negara ini telah lama menghadapi kekurangan listrik yang serius.
Sebagai contoh, sekitar 60% penduduk Angola tidak dapat memperoleh listrik yang stabil. Alasan utama terjadinya masalah ini adalah karena selama Perang Saudara, sejumlah besar fasilitas listrik di Angola hancur, jaringan transmisi listrik sudah tua, dan cakupannya terbatas. Tingkat kehilangan listrik di Angola mencapai 40%, hampir setengah dari listrik yang dihasilkan, karena masalah dalam proses transmisi.
Meskipun pemerintah Angola telah meningkatkan investasinya dalam pembangunan infrastruktur listrik, dengan investasi tahunan sekitar 500 juta dolar Amerika Serikat setara dengan 7,5 triliun rupiah, namun masih jauh dari memenuhi kebutuhan sebenarnya. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah kekurangan listrik tersebut, pemerintah Angola meminta bantuan Tiongkok pada tahun 2017 dan memulai pembangunan pembangkit listrik tenaga air Kiki.
Pembangkit listrik tenaga air Kiki terletak di tengah Sungai Quanza, sekitar 230 kilometer dari ibu kota Luanda. Proyek ini terdiri dari pembangkit listrik utama dan pembangkit listrik ekologi, dengan total investasi sebesar 4 koma 5 miliar dolar Amerika Serikat setara dengan 67,5 triliun rupiah. Proyek ini diharapkan dapat menghasilkan listrik sebesar 9 miliar kilowatt perjam setiap tahunnya, yang dapat memenuhi lebih dari 50% kebutuhan listrik total Angola.
Proyek ini juga diharapkan memberikan dampak positif bagi ekonomi dan lingkungan di Angola. Dengan menyediakan lebih dari 6.000 pekerjaan lokal, standar hidup ribuan keluarga di wilayah tersebut akan meningkat secara signifikan. Selain itu, dengan peningkatan pasokan listrik, Angola dapat mengurangi ketergantungannya pada energi panas tradisional, yang berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 7 koma 2 juta ton per tahun.