Рет қаралды 23,383
Danghyang Nirartha adalah sosok brahmana asal Jawa yang sangat terkenal di masa lalu. Keharuman namanya masih melekat sampai saat ini di tengah masayarakat Bali di mana beliau banyak menurunkan pratisentana dengan nama soroh brahmana yang berbeda.
Pada masa itu kehidupan orang-orang Majapahit sangat kacau, di mana terjadi banyak perselisihan yang mengakibatkan terjadinya bentrokan-bentrokan yang berujung pada peperangan. Keadaan itu tentu saja membuat warga masyarakat kehiangan rasa aman dan nyaman.
Selanjutnya terjadi penumpasan-penumpasan yang sangat mengerikan dan menimbulkan banyak korban, baik jiwa maupun harta benda. Semua itu disebutkan, akibat masuknya agama baru, yang memicu terjadinya bentrokan-bentrokan antara mereka yang sudah beralih ke agama baru dengan mereka yang masih taat memeluk agama warisan nenek moyang mereka.
Pada akhirnya mereka yang masih taat kepada agama yang lama mengalami kekalahan. Maka terjadilah pengungsian besar-besaran ke tempat-tempat yang dianggap aman, antar lain: Pasuruan, Tengger, Blambangan dan bahkan Bali.
Di antara para pengungsi itu terdapat seorang brahmana bernama Danghyang Nirartha. Beliau mengungsi besama dua orang putranya. Sebelum mengungsi menuju Pasuruan, di Daha beliau dikatakan mengawini seorang wanita bernama Dyah Mas Komala putri Mpu Penawaran. Tetapi entah mengapa nama Dyah Mas Komala tidak disebut dalam pengungsian itu.
Sebelumnya beliau bernama Ida Nirartha, tetapi setelah pudgala atau dwijati beliau kemudian bergelar Danghyang Nirartha. Oleh karena beliau beragama Budha sedangkan mertuanya penganut Hindu Siwa, maka oleh mertuanya beliau diminta beralih ke agama Hindu Siwa. Sejak saat itulah beliau menjadi brahmana Siwa.
Dari perkawinan beliau di Daha lahir Ida Ayu Swabawa dan Ida Kulwan. Ida Ayu Swabawa mendapat julukan Hyangning Salaga yang berarti dewanya kuncup bunga melati, sebagai sanjungan karena parasnya yang jelita dan ketinggian ilmu batinnya. Sedangkan Ida Kulwan dijuluki Wiragasandi, yang berarti kuncup bunga gambir karena merupakan laki-laki yang tampan dan gagah.
Setelah lama tinggal di Pasuruan, Danhyang Nirartha kawin lagi dengan seorang wanita bernama Dyah Sanggawati alias Ida Patening Telaga Urung alias Ida Isteri Pasuruan. Dyah Sanggawati adalah putri Danghyang Panawasikan.
Dari perkawinan itu lahir dua orang laki-laki, masing-masing Ida Wayahan Lor alias Ida Manuaba dan Ida Wiyatan. Kata Manuaba berasal dari Manuklaba, berarti burung yang sangat indah. Diberi julukan begitu karena Ida Manuaba adalah seorang laki-laki yang tampan dan gagah. Sementara adiknya diberi nama Ida Wiyatan yang berarti fajar menyingsing.
Dari Pasuruan kemudian Danghyang Nirartha bersama putra putrinya pindah lagi ke Blambangan, sedangkan istrinya tidak disebutkan nasibnya. Di Blambangan Danghyang Nirartha kemudian kawin lagi. Kali ini dengan adik Adipati Blambangan Sri Juru yang bernama Sri Patni Keniten.
Dari perkawinan itu Danghyang Nirartha menurunkan Ida Putu Wetan, Ida Rai Istri dan Ida Nyoman Keniten. Ida Putu Wetan juga dijuluki Ida Telaga alias Ida Ender. Beliau dijuluki begitu karena memiliki sifat ugal-ugalan tetapi sangat cerdas, sakti dan memiliki ilmu spiritual yang tinggi. Sedangkan adik bungsunya diberi nama Keniten karena orangnya tenang dan disiplin.
Setelah beberapa tahun tinggal di Blambangan, terjadi peristiwa yang membuat hubungan Danghyang Nirartha dan Sri Juru jadi renggang. Adipati Blambangan sangat marah dan benci kepada Danghyang Nirartha sebab beliau dicurigai memakai guna-guna.
Karena keringat Danghyang Nirartha berbau harum seperti parfum mawar, maka setiap orang yang berdekatan dengan beliau jadi ikut berbau harum. Disinyalir karena itulah adik Sri Juru jadi mabuk cinta kepada Danghyang Nirartha.
Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka bersama anak dan istrinya Danghyang Nirartha lalu meninggalkan Blambangan. Kali ini mereka menyeberangi lautan menuju Bali.