Рет қаралды 2,300,180
Lagu perlawanan yang berasal dari daratan Italia. Tak hanya populer di Eropa, lagu ini meluas hingga ke Asia dan Amerika latin. Termasuk dalam aksi protes yang tengah mengamuk di Chile dan Kolombia.
Di Santiago, Chile, lagu Bella Ciao melantun indah, dengan iringan biola, seruling, akordeon, dan gitar, di tengah-tengah barisan massa demonstran yang marah pada neoliberalisme.
Di Kolombia, yang seminggu ini diguncang demo besar menentang rezim neoliberal, lagu ini juga berkumandang. Bahkan, oleh demonstran diplesetkan menjadi: Duque Chao (Selamat tinggal, Duque). Ivan Dugue adalah Presiden Kolombia sekarang ini, yang haluan ekonomi-politiknya sangat neoliberal.
Lagu ini juga dinyanyikan demonstran anti-Brexit di Inggris, gerakan rompi kuning (Mouvement des gilets jaunes), pendukung kemerdekaan Catalonia, pejuang Kurdi di Rojava, hingga demo anti ultra-kanan di Bologna, Italia, baru-baru ini.
Dari mana dan apa kisah di balik lagu ini?
Bella Ciao adalah lagu perlawanan yang lahir di bumi juang: Italia. Ketika Italia dikoyak fasisme, sepanjang 1922-1945, kelompok perlawanan muncul dengan gagah-berani. Mereka menamai diri: partisan. Dalam bahasa Italia disebut: Partigiano atau partigiani.
Para partisan ini, yang rela menyerahkan nyawa demi terbebasnya Italia dari kekejian fasisme, menyemangati diri dengan lagu-lagu perjuangan. Dua yang paling terkenal: Bella Ciao dan Fischia il Vento.
Bella Ciao, bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kurang lebih berarti: Selamat tinggal, Cantik. Lagu ini bercerita tentang seorang pemuda yang meninggalkan kekasihnya, lalu bergabung dengan partisan untuk melawan fasisme.
Kepada kekasihnya, dia berpesan: “Dan jika Aku mati sebagai partisan, kau harus menguburku di gunung. Di bawah bayangan bunga-bunga yang cantik.”
Versi lain menyebut, lagu ini sudah ada sejak abad ke-19. Dinyanyikan oleh petani perempuan di Italia utara. Ceritanya, petani perempuan ini, yang dalam bahasa Italia disebut “Mondinas”, bekerja sebagai penanam dan pemelihara padi.
Para perempuan ini bekerja dalam kondisi yang buruk. Selain diterjang terik, bertelanjang kaki menerjang lumpur, juga harus banyak membungkuk (karena menanam padi dan membersihkan gulma) sepanjang hari.
Namun, kendati kondisi kerjanya buruk, gaji mereka sangat kecil. Tak sebanding dengan derita dan peluh yang mereka rasakan. Ini yang memicu perlawanan.