Habib Umar bin Hafidz - Dimana Allah ❓ | Nabawi TV

  Рет қаралды 83,352

Nabawi TV

Nabawi TV

6 ай бұрын

#NabawiTV #HabibUmarbinHafidz #DimanaAllah
📌Join membership untuk mendapatkan fitur lebih dari channel Nabawi TV:
kzbin.infojoin
📌 SUPPORT Media Nabawi TV di 👇🏻
sociabuzz.com/nabawitv/tribe
Sudah siap dapat pahala jariyah?
Yuk support! klik link diatas ❗
Subscribe, Like, dan Follow Media Sosial Nabawi TV untuk mendapatkan konten terupdate setiap harinya, di:
- KZbin Nabawi TV: / nabawitv
- Facebook Nabawi TV: / nabawitv
- Instagram Nabawi TV: / nabawi.tv
- TikTok Nabawi TV: / nabawitv
Saksikan juga tayangan Nabawi TV melalui TRANSVISION dan satelit Ninmedia, channel 25

Пікірлер: 156
@TapakMusafir
@TapakMusafir 28 күн бұрын
Semoga guru mulia senantiasa dalam lindungan Allah.. Sehat wal afiat
@TeguhYanto-sq6qr
@TeguhYanto-sq6qr Ай бұрын
Allahumma sholli Ala Sayyidinnaa Muhammad Wa Ala Alihi Sayyidinnaa Muhammad 💚💚💚
@jodikawulan3906
@jodikawulan3906 6 ай бұрын
Alhamdulillah menyimak. Semoga keluarga besar Habib Umar bin Hafidz dan kita semua selalu sehat berkah, lancar rejekinya, bahagia sukses selamat dunia akhirat dan selalu dalam lindungan ALLAH. Aamiin Allahumma Aamiin 🤲
@hanif_fahmi
@hanif_fahmi 6 ай бұрын
Kenapa harus ribut pasal allah dimana.. Padahal seluruh alam semesta dan arsy hanyalah ciptaan allah, yang semuanya itu bagi allah tidak lebih ibarat hanya sebutir biji sawi.. Dan allah adalah maha besar, maha tinggi, maha luas, laisa kamislihi syaiun,
@asyraf9551
@asyraf9551 6 ай бұрын
Allahumma solli a'la Sayyidina Muhammad ❤️
@Ruqyahlukmannurhakim
@Ruqyahlukmannurhakim 17 күн бұрын
Barakallah
@ISMAILHAFIZZH
@ISMAILHAFIZZH 6 ай бұрын
Tentang hal ini, Intinya beriman saja dengan apa yg diucapkan Allah dan Rasulnya, Tanpa menafsirkan kemana2.... wallahu a'lam.
@dedysatriyono6420
@dedysatriyono6420 6 ай бұрын
Subhanallah , mantap seperti apa yang ku ilhami dan kuyakini selama ini Allah mencakup di seluruh ciptaanya yang dia ciptakan apapun itu segala apapun tanpa ada pertanyaan apapun dialah maha dari segala maha pencipta yang diciptakannya. Allahuakbar ....Allahuakbar...Allahuakbar..
@NasehatFikihKumpulanHadits
@NasehatFikihKumpulanHadits 6 ай бұрын
الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى “Allah yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [Thaha/20: 5]
@titanialisbeth6967
@titanialisbeth6967 6 ай бұрын
Tafsirnya apa?
@NasehatFikihKumpulanHadits
@NasehatFikihKumpulanHadits 6 ай бұрын
@@titanialisbeth6967 Berikut kami buktikan keyakinan di atas berdasarkan kata sepakat para ulama. 1- Kata Ijma’ Ulama ‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata, ayahku menceritakan kepada kami, ia berkata aku diceritakan dari Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’i bahwa ia berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau berkata, الجهمية فقال هم شر قولا من اليهود والنصارى قد إجتمع اليهود والنصارى وأهل الأديان مع المسلمين على أن الله عزوجل على العرش وقالوا هم ليس على شيء “Jahmiyah lebih jelek dari Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa Yahudi dan Nashrani serta agama lainnya bersama kaum muslimin bersepakat bahwa Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka katakan bahwa Allah tidak di atas sesuatu pun.” (Lihat Al-‘Uluw li Al-‘Aliyyi Al- Ghaffar, hlm. 157 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hlm. 168) 2- Sepakat Ulama Madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad semuanya bersepakat bahwa Allah menetap tinggi di atas seluruh makhluk-Nya. Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqh Al-Akbar, مَنْ اَنْكَرَ اَنَّ اللهَ تَعَالَى فِي السَّمَاءِ فَقَدْ كَفَرَ “Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.” (Lihat Itsbatu Shifat Al- ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hlm. 116-117) Imam Malik bin Anas mengatakan, اللهُ فِي السَّمَاءِ وَعِلْمُهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ لاَ يَخْلُوْ مِنْهُ شَيْءٌ “Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” (Lihat Al-‘Uluw li Al-‘Aliyyi Al- Ghaffar, hlm. 138) Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata, “Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman, الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى “Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy.” (QS. Thaha: 5). Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata, الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ “Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar. (Lihat Al-‘Uluw li Al-‘Aliyyi Al-Ghaffar, hlm. 378)
@NasehatFikihKumpulanHadits
@NasehatFikihKumpulanHadits 6 ай бұрын
@@titanialisbeth6967 Imam Syafi’i berkata, القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد “Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya. (Lihat Itsbatu Shifat Al-‘Uluw, hlm. 123-124) Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya, “Apa makna firman Allah, وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ “Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al-Hadid: 4) مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al-Mujadilah: 7) Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.” Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata, قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” (Lihat Itsbatu Shifat Al-‘Uluw, hlm. 116) 3- Didukung oleh 1000 Dalil Ahmad bin Abdul Halim Al-Harani (yang dikenal dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) berkata, قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ ” أَلْفُ دَلِيلٍ ” أَوْ أَزْيَدُ : تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ . وَقَالَ غَيْرُهُ : فِيهِ ” ثَلَاثُمِائَةِ ” دَلِيلٍ تَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ “Sebagian ulama besar Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 5: 121) Yang namanya ijma’ atau kata sepakat ulama seperti yang kami nukilkan sudah menjadi dalil kuat bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, menetap tinggi di atas seluruh makhluk-Nya. Siapa yang menyelisihi akidah ini, dialah yang keliru. Karena disebutkan dalam hadits, إِنَّ أُمَّتِى لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ “Sesungguhnya umatku tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan.” (HR. Ibnu Majah no. 3950) Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
@rickyrahman7007
@rickyrahman7007 6 ай бұрын
sifat2 Allah wajib di imani,jangan dibayangkan bagaimana nya sesuai prasangka kita karena itu adalah hal yg ghaib
@rajifgandi951
@rajifgandi951 6 ай бұрын
Langit di atas bumi, dan langit gak butuh bumi, Bagaimana dengan Allah, cukup imani saja, bahwa Allah di atas, kalau bagaimananya itu bukan urusan kita
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
١. ولم يكن له كفوا احد tidak ada yg setara dengannya ٢. ليس كمثله شيء
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
MAHLUK terbagi menjadi a’yan (benda) dan a’radh (sifat benda, seperti bergerak, diam, naik,turun, duduk, berdiri dsb). Sedang benda itu ada jauhar al-fard (pembagian benda terkecil) dan jisim. Jisim sendiri ada lathif, yang tidak bisa dipegang. Misalnya angin, udara, cahaya, ruh, dll. Dan ada katsif, yaitu benda yang dapat disentuh tangan. Firman Allah: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ. (الشورى : 11( “Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya,” Maksudnya, Allah berarti bukan benda, bukan sifat benda, bukan jisim lathif maupun katsif. Allah tida boleh disifati dengang sifat benda seperti bergerak, diam, naik, turun, duduk, berdiri dan lain sebagainya. عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ. (رواه البخاري 2953( “Allah telah ada, dan belum ada sesuatupun selain-Nya.” Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata: إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْعَرْشَ إِظْهَارًا لِقُدْرَتِهِ وَلَمْ يَتَّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ. (الإمام ابو منصور البغدادي، الفرق بين الفرق، ص/256( “Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya.” Al-Imam Abu Ja'far al-Thahawi berkata dalam al-'Aqidah al-Thahawiyyah: تَعَالَى (يَعْنِىْ اللهُ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالْغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ. “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, sehingga Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti tangan, wajah dan anggota badan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya), Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang), tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut.”
@inspiratif-ihsan-0977
@inspiratif-ihsan-0977 Ай бұрын
allah swt itu ga punya tempat di dalam kitab tijan darauri kalau kita menekadkan allah swt di atas dll maka bisa di hukumi kufur..karna sejatinya allah swt itu ga punya tempat dimana saja allah berada maka kita bisa merasakan adanya allah swt yang mnegawasi kita..klo kita yakin allah swt berada di atas hti hti bisa kufur dan murtad itu kta guru saya mohon maaf saya hanya mluruskan kta guru saya di pondok
@inspiratif-ihsan-0977
@inspiratif-ihsan-0977 4 күн бұрын
@@PencariBarokah-vp9xh wah suhu nih itu uda tingkat maripat yaa?masya allah tapi cukup kita meyakinkan dalam diri kita bahwa allah itu tidak bertempat kata guru saya juga kalo kita menghukumi allah mempunyai tempat bisa dosa besar..alias kufur karna sejatinya allah itu ga memiliki tempat bisa dimana aja😊,mhon maaf skedar tambahan aja ya akhi
@inspiratif-ihsan-0977
@inspiratif-ihsan-0977 4 күн бұрын
@@PencariBarokah-vp9xh itu di kitab apa akhi?😊
@syamsuwirsiir3310
@syamsuwirsiir3310 6 ай бұрын
Subhanallah..keterangan yg sgt jelas, dan tak ada lg yg perlu di tanyakan, selain mengamalkanya, semoga guru yg mulia senantiasa dlm rahmat Allah🙏🙏🙏
@AhmadAlsanawy
@AhmadAlsanawy 2 ай бұрын
حفظكم الله سيدي ونفعنا بكم في الدارين آمين
@ALDOUSMLBBOFFICIAL
@ALDOUSMLBBOFFICIAL 6 ай бұрын
صلوا على النبي
@sairulanam4128
@sairulanam4128 5 ай бұрын
Bismillah Alhamdulillah allah maha kuasa di atas segalanya gak malu kita mencari keadaan allah sedangkan allah sudah menerangkan bahwa allah lebih dekat dari urat nadi ❤️ aku cinta habib umar ❤❤❤❤
@krllagu7778
@krllagu7778 6 ай бұрын
Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala alihi washahbihi wasallim........
@SutiniBurhanudin
@SutiniBurhanudin Ай бұрын
MasyaaAllah...Allahumma sholli Alaa sayyidina Muhammad wa ala Ali sayyidina Muhammad 💓 Allah ada dikalbulku...dan dimana mana dengan ciptaanNYA 💓💓🙏
@TahuNyonyorCom
@TahuNyonyorCom 6 ай бұрын
Sepertiga malam Allah turun ke Bumi. Mau membayangkan turunNya Allah sprti mahluk? Allah Maha Melihat. Mau dibayangkan Melihatnya Allah sprti Mahluk? Banyak Ayat di dlm Al-Quran Allah beristiwa' diatas Arsy. Masih mau membayangkan Istiwa'Nya Allah sprti mahluk. Cukup yakini apa yg Allah Firmankan. Yg tau Allah dimana ya Allah itu sendiri. Dan Allah banyak menyebutkan Arrahman Alal Arsys tawa'. Ada ayat yg tdk perlu ditakwil. Kita sbg mahluk cukup yakini apa yg Allah Firmankan. Coba baca QS ayat 7 surah Al Imran yg menjelaskan sesungguhnya ada golongan yg suka mentakwil yaitu orang yg hatinya condong kpd kesesatan
@mamadz
@mamadz 6 ай бұрын
Yang dimaksud Allah turun kebumi adalah rahmatnya yang turun ke bumi, kalo Allah turun ke bumi berarti ada jarak antar Allah dengan bumi? Berarti Allah memiliki ukuran? Berarti makhluk ciptaannya lebih besar dari Allah sang pencipta itu sendiri? Emang benar bang, bahaya emang kalo orang menelan arti terjemahan ayat mentah mentah.
@TahuNyonyorCom
@TahuNyonyorCom 6 ай бұрын
@@mamadz Allah Maha Melihat? Bagaimana??? Mau ditakwil bagaimana bang???
@mamadz
@mamadz 6 ай бұрын
@@TahuNyonyorCom ya seperti abang bilang, bukan seperti makhluk, Jadi jangan coba di ditakwili cukup di imani, semakin di coba bayangkan semakin kufur nantinya, karena bayangan mu saja sudah merupakan makhluk (ciptaan) pikiran mu, akhirnya karena kamu membayangkan wujud Allah berakhir dengan menyamakan Allah dengan makhluk yang berarti mengingkari sifat Allah "berbeda dari makhluknya" yg bisa berakhir pada kekufuran.
@TahuNyonyorCom
@TahuNyonyorCom 6 ай бұрын
@@mamadz betul.... Cukup kita imani saja. Karena ada ayat² yg tdk perlu di takwil
@amirazroy4389
@amirazroy4389 3 ай бұрын
Dimana kita menghadap disitu wajah allah. Gimana memahamkan ayat ni?
@adityaekaputra8925
@adityaekaputra8925 6 ай бұрын
Allah tak butuh tempat dan tak bertempat
@Irnovi27
@Irnovi27 2 ай бұрын
Lalu dimana Alloh?
@adityaekaputra8925
@adityaekaputra8925 2 ай бұрын
@@Irnovi27 pake nanya
@MaqoliiNNa
@MaqoliiNNa Ай бұрын
​@@Irnovi27ALLAH maha menciptakan tempat dan ia tidak butuh tempat
@yayanaditiyan-bs4ub
@yayanaditiyan-bs4ub Ай бұрын
Allahumashollialasayidina muhammad, Alfatihah
@norfazilahalias6914
@norfazilahalias6914 29 күн бұрын
Benar Allah wujud tidak bertempat dan Allah Aza Wajallah istiwa di atas Arasy..maha tinggi di atas segala Makhluknya..
@adindavitaliachanel4424
@adindavitaliachanel4424 6 ай бұрын
Allahuakbar
@densyawal8788
@densyawal8788 2 ай бұрын
Bismillahirrahmanirrahim Allahumma salli ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad ❤❤❤
@thetravellers9215
@thetravellers9215 6 ай бұрын
اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى Yang Maha Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy
@nadiatunnadanasution9905
@nadiatunnadanasution9905 6 ай бұрын
Istawa Banyak Artinya Dalam Bahasa Arab,salah satunya MENGUASAI jadi Pilihlah Arti yang Layak Bagi Allah.
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
jangan lupa juga bahwa Allah berfirman. ١. ولم يكن له كفوا احد ٢. ليس كمثله شيء
@TawakkalChannel-he5sh
@TawakkalChannel-he5sh 6 ай бұрын
@@nadiatunnadanasution9905 pergi kearah mana waktu Muhammad ﷺ melakukan Mi'raj dan bertemu dengan Allah. ??? keatas langit ? ke bawah bumi ? kedalam bumi ? ke arah depan ? ke arah belakang ? jng berikan statement ambigu, berikan jawaban atas kejadian yg terjadi
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
@@TawakkalChannel-he5sh MAHLUK terbagi menjadi a’yan (benda) dan a’radh (sifat benda, seperti bergerak, diam, naik,turun, duduk, berdiri dsb). Sedang benda itu ada jauhar al-fard (pembagian benda terkecil) dan jisim. Jisim sendiri ada lathif, yang tidak bisa dipegang. Misalnya angin, udara, cahaya, ruh, dll. Dan ada katsif, yaitu benda yang dapat disentuh tangan. Firman Allah: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ. (الشورى : 11( “Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya,” Maksudnya, Allah berarti bukan benda, bukan sifat benda, bukan jisim lathif maupun katsif. Allah tida boleh disifati dengang sifat benda seperti bergerak, diam, naik, turun, duduk, berdiri dan lain sebagainya. عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ. (رواه البخاري 2953( “Allah telah ada, dan belum ada sesuatupun selain-Nya.” Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata: إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْعَرْشَ إِظْهَارًا لِقُدْرَتِهِ وَلَمْ يَتَّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ. (الإمام ابو منصور البغدادي، الفرق بين الفرق، ص/256( “Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya.” Al-Imam Abu Ja'far al-Thahawi berkata dalam al-'Aqidah al-Thahawiyyah: تَعَالَى (يَعْنِىْ اللهُ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالْغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ. “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, sehingga Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti tangan, wajah dan anggota badan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya), Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang), tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut.”
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
Salah satu yang sering disalahpahami secara massal oleh Salafi-Wahabi adalah anggapan bahwa Asy’ariyah mewajibkan mentakwil kata Istawa dalam al-Qur’an dengan makna Istawla. Akhirnya mereka mengoleksi berbagai kelemahan takwilan ini sebagai celah kritik. Ada yang bilang kalau diartikan istawla berarti Allah harus bertengkar dulu dengan Arasy. Ada juga yang bilang kalau istawla ini hanya berdasarkan syair orang Kristen bernama Akhthal. Ada yang bilang kalau makna istawla ini tidak cocok dengan beberapa siyaq (konteks ayat). Ada juga yang menanyakan kalau maksudnya adalah menguasai berarti apa gunanya disebut arasy saja? Bukankah Allah menguasai semuanya? Ada juga yang menggugat dengan aneh, apa bisa dikatakan Allah istawla atas tempat sampah? dan sebagainya. Semua hal ini muncul akibat kesalahpahaman. Ada juga yang memgklaim bahwa makna istawla ini tak dikenal dalam bahasa Arab. Tentu saja klaim ini tak bisa dipertahankan secara akademik sebab faktanya berbalik 180 derajat. Sebenarnya bagaimana sih faktanya supaya enak kalau berdialog dengan Salafi-Wahabi? Saya buat poin-poin sederhana sebagaimana berikut supaya mudah. 1. Asy’ariyah tak semua mentakwil. Banyak dari mereka memilih jalan tafwidh dan mengkritik keras takwil. Saya (Abdul Wahab Ahmad) termasuk yang tak suka mentakwil kecuali konteksnya kepepet betul. 2. Di antara Asy’ariyah yang mentakwil, tidak ada satu pun yang mewajibkan arti istawla dalam semua konteks istawa. Coba baca Syarh Bukhari karya Ibnu Hajar atau Syarah Muslim karya an-Nawawi atau Asma’ Was Shifat karya Imam Baihaqi dan kitab ulama Asy’ariyah lainnya. Arti istawa ada banyak sekali, ada al-Qashdu, al-Qahru, ‘Ala’ wartafa’a, dan seterusnya. Istawla hanya salah satu arti yang disodorkan dari berbagai macam arti yang ada. Ini harus dipahami dengan baik supaya tak ada kesan harus mempertanggungjawabkan makna istawla sebab tak ada yang mewajibkan makna itu. Itu hanya salah satu opsi makna. Dalam konteks berbeda, misalnya dalam konteks ayat ثم استوى إلى السماء, sedikit sekali yang menafsirkan sebagai istawla. Yang banyak adalah qashada. 3. Adakah generasi salaf yang memaknai istawa sebagai istawla? Bila generasi salaf yang dimaksud adalah tiga qurun pertama, maka jawabannya adalah: Ada. Abu Abdirrahman Ibnul Mubarak (w.237) Masyhur dengan nama Ibn al-Yazidi, seorang mufassir dan ahli bahasa Arab, yang hidup di qurun ketiga, dalam kitabnya yang berjudul Gharib al-Qur’an wa Tafsiruhu mengatakan: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى } [سورة طه:5] استوى: استولى” اهـ Ar-Rahman Istawa atas Arays, maksudnya adalah istawla (menguasai secara mutlak). 4. Apa maksud istawla itu? Yang mentakwil istawa sebagai istawla itu maksudnya adalah استولى بالقهر والتدبير, yaitu kekuasaan mutlak Allah tanpa proses penaklukan terlebih dahulu dan berupa pengurusan-Nya terhadap makhluk. Lihat penjabaran istawla yang dilakukan Imam at-Thabrani (w. 360) dalam at-Tafsir al-Kabir berikut: والاستواء: الاستيلاء، ولم يـزل الله سبحانه مستوليا على الأشياء كلها، إلا أن تخصيص العرش لتعظيم شأنه.اهـ Istiwa’ adalah Istila’ (menguasai) dan Allah tak henti-hentinya menguasai segala sesuatu, hanya saja Arasy disebut secara khusus karena mengagungkannya. Lihat juga penjabaran makna istawa yang dilakukan oleh Imam besar Asy’ariyah, Imam Ibnu Furak (w.406) dalam kitabnya yang berjudul Musykil al-Hadis, berikut: لأن استواءه على العرش سبحانه ليس على معنى التمكن والاستقرار، بل هو على معنى العلو بالقهر والتدبير وارتفاع الدرجة بالصفة، على الوجه الذي يقتضي مباينة الخلق. اهـ Karena Istiwa’nya Allah atas Arasy tidaklah dengan makna bertempat atau tinggal menetap, tetapi atas makna uluw (Maha Tinggi) dengan menundukkan, mengurus, dan bersifat tinggi derajatnya dalam konteks yang berbeda sepenuhnya dengan makhluk. Dari penjelasan kedua Imam ini kita tahu bahwa menguasai secara mutlak dan mengatur/mengurus layak disematkan kepada Allah sebab faktanya Allah memang menguasai segala hal. Kalau ada yang mempertanyakan apakah Allah menguasai tempat sampah? Maka keimanan orang ini bermasalah sebab secara tak langsung dia mengatakan bahwa ada hal di dunia ini yang tak dikuasai Allah dan luput dari qahru dan tadbir-Nya. Padahal semua mukmin tahu bahwa Allah adalah al-Qahhar dan al-Mudabbir. 5. Apakah dasar makna استولى بالقهر ini? Jawabannya adalah semua ayat yang menyebutkan bahwa Allah punya shifat Qahr. Dalam asma’ul Husna juga dikenal nama al-Qahhar. Ini semua adalah dasar yang tak layak dipertanyakan lagi oleh semua muslim. Saya rasa ini tak perlu dikutip sebab sudah maklum. 6. Karena istawla dan al-Qahru ini maksudnya sama saja, maka sebagian ulama langsung saja mengartikan istawa sebagai al-Qahru. Misalnya Imam Abu Manshur an-Nisaburi (w. 421), seperti halnya dinukil oleh Imam al-Baihaqi dalam al-Asma’ wash-Shifat, mengatakan: إن كثيرا من متأخري أصحابنا ذهبوا إلى أن الاستواء هو القهر والغلبة. اهـ Sesungguhnya banyak dari kawan-kawan kami dari kalangan ulama muta’akhirin berpendapat bahwa sesungguhnya istiwa’ adalah al-Qahru (menundukkan) dan al-Ghalabah (mendominasi). 7. Bukankah istawla itu maksudnya menaklukkan setelah bertengkar terlebih dulu? Kalaupun ada yang memahami bahwa istawla bermakna demikian, maka itu bukan makna yang dimaksud Asy’ariyah sehingga jangan memfitnah Asy’ariyah dengan sesuatu yang tidak pernah mereka katakan. Jangan pernah! 8. Kenapa menyebut Arasy saja kalau maknanya demikian? Sebab Arasy adalah makhluk terbesar, kerajaan teragung sehingga menyebutnya secara khusus sebagai tanda bahwa yang paling besar saja dikuasai dengan mutlak apalagi yang kecil-kecil. Demikian penjelasan para ulama, di antaranya adalah Imam al-Hafidz Al-Baihaqi (w458) dalam al-Asma’ wash-Shifat. Beliau mengatakan: وَإِنَّمَا خَصَّ الْعَرْشَ بِالذِّكْرِ لِأَنَّهُ أَعْظَمُ الْمَمْلُوكَاتِ، فَنَبَّهَ بِالْأَعْلَى عَلَى الْأَدْنَى. Arasy disebutkan secara khusus tidak lain hanya karena ia merupakan makhluk paling besar, maka dengan menyebutnya sudah mencakup yang lebih kecil. 9. Apakah ada dasarnya dari al-Qur’an dan hadis kalau makna istawa adalah istawla? Ini pertanyaan super bodoh. Kalau di al-Qur’an/hadis sudah ada pernyataan gamblang tentang makna istawa, maka tak kan ada ulama ikhtilaf. Tak ada juga yang akan repot-repot mencari di kamus arab atau di syair-syair arab. Semua penafsiran istawa, apapun itu, baik yang memahaminya secara hissi sebagai istaqarra fi makan (berdiam di tempat), qu’ud/julus (duduk bersemayam), ataupun yang memahami secara metafora seperti menguasai secara mutlak (al-Qahru/istila’), at-tadbir (mengurus), semuanya bukan berasal dari ayat atau hadis tetapi melalui pendekatan bahasa. Dari berbagai makna yang didapat dari bahasa itulah para ulama berdebat mana makna yang layak disematkan pada Allah dan makna yang tidak layak.
@ucuptepong6204
@ucuptepong6204 3 ай бұрын
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ🤲❤❤❤
@karomahwongcilik8369
@karomahwongcilik8369 4 ай бұрын
Salaam berkah untuk Yang Mulia Habib Umar,kami Cinta Negeri Saudara kami Yemen,karna banyak Habib habib dan Ulama haniif di Sana,terutama Al kariim Habib Umar,dan Nabi HUD 'Alaihissalaam pernah di Utus di Gurun Al Ahqaf,Salaam Yemen Kami Tercinta ,Yemen Kami tersayang.....Aamiin Aamiin Aamiin
@ddaannii
@ddaannii Ай бұрын
Masya Allah Alhamdulillah Terima kasih Semoga berkah Aamiin
@wawanputra2611
@wawanputra2611 6 ай бұрын
allah huakabar allah maha besar maha pengasih lagi maha penyanyang... amin... 100000000X😊
@fazamuhammadramadhan
@fazamuhammadramadhan 5 ай бұрын
Allah ada tanpa tempat, dan Allah-lah Yang Menguasai Arsy
@ABMpradam
@ABMpradam 6 ай бұрын
Qabiltu yaa Habib ❤❤❤
@edgargithfartejokusumo5886
@edgargithfartejokusumo5886 6 ай бұрын
Alhamdulillah semoga banyak yang tercerahkan dengan Pemahaman Akidah yang benar melalui Habib Umar, Allah tidak butuh/terikat tempat/arah, bukan atas bukan bawah bukan kiri bukan kanan. Subhanallah Maha Suci Allah dari sifat mahluk. Kami beriman kepada semua yang disabdakan Nabi Muhammad SAW dan sesuai dengan apa yang dikehendakinya. tdk menafsirkan sesuai nafsu pribadi yang cenderung pada kesesatan. Allahuakbar.
@ayzurealsayf
@ayzurealsayf 6 ай бұрын
Jika Allah bersemayam di atas Arsy melazimkan Allah membutuhkan tempat sehingga tidak boleh diimani begitu saja dan harus ditakwil.... Maka kita tidak boleh beriman kepada Malaikat Mikail, karena yang Allah tidak butuh Makhluk untuk membagikan Rezeki, begitu juga Malaikat Azrael/Malak Maut, Allah tidak butuh Malaikat utk mematikan manusia sehingga Malaikat maut itu harus ditakwil, maknanya adalah Allah itu maha mampu dan mengawasi dan jika tiba waktunya pasti seseorang akan mati. Ini kalo mengikuti pemahaman yang di video ya.
@abdullah5975
@abdullah5975 6 ай бұрын
Allah berada di atas Arsy adalah kabar dari Allah dan Rasulullah sendiri. Kenapa ditolak? ... Jika kita tidak faham bagaimana caranya Allah berada di atas Arsy, ya jangan menggambarkan/membayangkan caranya. Cukup kita imani tanpa membayangkan bagaimana caranya. ... Sama seperti mengimani hal-hal ghaib lainnya. Seperti : surga, neraka, malaikat, alam jin, ruh, alam kubur, alam akhirat (mahsyar, shirat, dll), dll. Semuanya hanya bisa kita imani tanpa bisa dibayangkan. ... Ilmu Pengetahuan "Alam" nya berbeda. Tidak sama. ... Sesama "Alam" (makhluk) saja IPA nya berbeda. Apalagi antara "Alam" (makhluk) dengan "Robnya alam" (Kholiq/Allah). Jelas lebih berbeda lagi "Ilmu Pengetahuan"-nya. ...
@ayzurealsayf
@ayzurealsayf 6 ай бұрын
@@abdullah5975 iya benar yang anda sampaikan, makanya saya katakan bahwa keyakinan Allah tidak bersemayam di atas Arsy itu melazimkan kita tidak boleh beriman kepada Malaikat. Kata mereka Allah tidak boleh disebut bersemayam di atas Arsy karena jika Dia bersemayam di atas ArsyNya artinya Dia butuh kepada makhluk. Maka salah satu sanggahan kita adalah,"berarti tidak boleh beriman kepada Malaikat, karena Allah tidak butuh Malaikat utk mencabut nyawa, mengatur hujan, maupun membagi rezeki, semua itu Allah tidak butuh Malaikat".
@azhari795
@azhari795 6 ай бұрын
@@abdullah5975 Iaitu (Allah) Ar-Rahman, yang bersemayam di atas Arasy. (Taha 20:5) Dan Kami pelihara (urusan) langit itu dari (masuk campur) tiap-tiap Syaitan yang kena rejam. (Al-Hijr 15:17 Kecuali Syaitan yang curi mendengar percakapan (malaikat di langit), maka ia diburu dan diikuti (dengan rejaman) api yang menyala, yang nyata kelihatan. (Al-Hijr 15:18) Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa; dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan keaiban orang; dan janganlah setengah kamu mengumpat setengahnya yang lain. Adakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? (Jika demikian keadaan mengumpat) maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu, patuhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertaqwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah Penerima taubat, lagi Maha mengasihani. (Al-Hujuraat 49:12)
@nurarinibatubaravera2420
@nurarinibatubaravera2420 5 ай бұрын
Sila 1: Ketuhanan Yang Maha Esa, Allah itu ada, dimana...yang penting ada.
@AhmadFauzi-hw1xj
@AhmadFauzi-hw1xj 6 ай бұрын
Semoga habib umar panjang umur serta sehat selalu...aamiin ya allah...
@ripinripin5298
@ripinripin5298 6 ай бұрын
Allahuakbar walillaahilhamd,we always love Habib Umar bin hafidz ❤️❤️❤️
@dickym8153
@dickym8153 6 ай бұрын
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِير' Berbeda dzat allah dengan seluruh makhluk yang baru.
@andihasmah2297
@andihasmah2297 4 ай бұрын
Walhamdulillaahi rabbil Aalamin, Walaahaula walaa"qu'ata Illaa Billah.
@Cucunya_ali
@Cucunya_ali 6 ай бұрын
Alhamdulillahh❤❤ 0:31
@bbjjghuj9098
@bbjjghuj9098 6 ай бұрын
Waalaikum salam warohmatulloh hi wabarokhatuh,, Alhandulillah bersyukur Masya Allohh Ya Allohh 😭 Adem memandang,dsn mendengarkan Habib UMAR Bin Hafiz,, Alloh huma Shollii Ala Sayidina Muhammad waa Ala Alii Sayidina Muhammad 100x 🤲 ♥ Alloh huma Shollii Alaih 100x 🤲 ♥ Aamiin Allohhuma Aamiin 🤲 Ya Allohh 😭
@Traveler19301
@Traveler19301 6 ай бұрын
(1)-Allah ta’ala tidak butuh kepada arsy, tapi arsy lah yang dimuliakan dengan bersemayamnya sang kholiq diatasnya. Sebagaimana allah ta’ala tidak butuh kepada ibadah para hambanya, tapi merekalah yang dimuliakan dengan beribdah kepada Alaah Ta’ala. (2)- perkataan imam syafii ( آمنت بالله وبما جاء عن الله على مراد الله) yang artinya “aku beriman kepada Allah, dan kepada apa yang datang dari Allah, seseuai dengan keinginan Allah”, حجة عليك لا لك، dalil yang membantah statemen anda sendiri. Yang mengatakan Allah Ta’ala bersemayam diatas arsy itu siapa? Yang mengatakannya adalah Allah dalam alquran dalam banyak ayat Yang mngatakannya adalah nabi dalam hadist yang berbeda-beda Apakah anda menafikan apa yang ditetapkan oleh Allah atas dirinya?, mengatakan allah ta’ala tidak mungkin melakukan yang demikian, karena kalau Allah ta’ala bersemayam diatas arsy berarti allah butuh kepadanya. Hakikatnya tashowur anda yang salah, ketika anda lari dari tasybiih (menyerupakan sang kholiq dengan makhluk), anda jatuh kepada hal yang lebih parah, yaitu menafikan sifat-sifat yang allah sendiri tetapkan atas dirinya. Akhirnya saya ingin bilang, sesuai dengan perkataan imam syafii. آمنت بالله = sang kholiq yang tidak ada sekutu, semisal dan setara dengannya وبما جاء عن الله = dialah sendiri yang mengatakan bahwasanya dia bersemayam diatas arsy-nya dalam alquran على مراد الله = sesuai dengan Allah ta’la inginkan Dan tetap pada kaidah ليس كمثله شيء وهو السميع البصير , tidak ada yang semisal dengannya. Sekian, semoga allah ta’ala memberikan hidayah dan taufiknya kepada kita semua. Aamiin
@mediasunnahmufakiz8977
@mediasunnahmufakiz8977 6 ай бұрын
Ketika Allah menciptakan malaikat adakah Allah perlu pada malaikat pastinya tidak, begitu juga bila Allah mengkhabarkan ia istiwa di atas arasy adakah Allah memerlukan arasy tidak! tapi bila Allah sifatkan sedemikian kita terima saja tanya bertanyakan bagaimana bagaimana itulah ahli sunnah Sifat istiwa’ adalah salah satu sifat Allah yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diriNya dalam tujuh ayat Al-Quran, yaitu Surat Al-A’raf: 54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4 dan Al-Hadid: 4, semuanya dengan lafazh: ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ Artinya: “Kemudian Dia berada di atas ‘Arsy.” Dan dalam Surat Thaha: 5 dengan lafazh: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى Artinya: “Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy.” Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam juga telah menetapkan sifat ini untuk Allah dalam beberapa hadits, diantaranya: Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda: لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ -فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ- إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي “Ketika Allah menciptakan makhluk (maksudnya menciptakan jenis makhluk), Dia menuliskan di kitab-Nya (Al-Lauh Al-Mahfuzh) - dan kitab itu bersama-Nya di atas ‘Arsy- : “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
lalu bagaimna dengan ayat, ١. ولم يكن له كفوا احد ٢. ليس كمثله شيء
@affanmujaddidi8932
@affanmujaddidi8932 6 ай бұрын
@@PencariBarokah-vp9xh apakah ketika kita mengatakan allah beristiwa' di arsy kita sedang menyamakan allah dengan makhluk.. sekali2 tidak.. allah mendengar melihat sesuai dengan keagungannya dan tidak bisa disamakan dengan makhluk.. begitupula dengan istiwa' allah.. kita menetapkan sifat sesuai dengan yang allah inginkan
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
@affanmujaddidi8932 menurut sampean berarti apa makna istiwa' disini?
@richoahmad9803
@richoahmad9803 6 ай бұрын
Alloh Wujud Qidam Baqa' Mukholafatul Lilhawaditsii Qiyamuhu Binafsihi Wahdaniyah Qodrat Irodat 'Ilmun Hayat Sam'un Bashor Kalaam Qodiron Muridan 'Aliman Hayyan Sami'an Bashiron Mutakaliman T
@naylanurul8306
@naylanurul8306 6 ай бұрын
Harus tahuu hukumy,,wajib,mustahil,jais
@erwinsmith5381
@erwinsmith5381 3 ай бұрын
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
@Dafadiya
@Dafadiya 6 ай бұрын
Siapa saja yang mengingkari Allah diatas, maka dia Jahmiyah
@FakhriArs
@FakhriArs 6 ай бұрын
Perbanyaklah video Habib Umar bin Hafidz 😢😢
@yandiyansyah8720
@yandiyansyah8720 6 ай бұрын
jawaban yang tepat
@Kangharlovers434
@Kangharlovers434 6 ай бұрын
Walamyakulahukufuan Ahad(Tidak ada Satu Pun Mahluk Ciptaan nya Yg Serupa dengan Allah)Hanya Allah yg Tahu Keaadaan Allah sendiri
@nja4eva127
@nja4eva127 6 ай бұрын
ALLAHUAKBAR
@rakyatBerbicara
@rakyatBerbicara 6 ай бұрын
Indahnya memandang wajah beliau, subhanallah
@abdillahk148
@abdillahk148 6 ай бұрын
Terimakasih admin, tolong lebih banyak video seperti ini
@MuhammadRizki-ci6vl
@MuhammadRizki-ci6vl 6 ай бұрын
Alhamdulillah ada video baru terjemah habib Umar.. banyakin lagi ya min konten habib umarnya ♥️
@kwesul36
@kwesul36 6 ай бұрын
❤❤❤❤
@KardiSujono
@KardiSujono 6 ай бұрын
Ar Rahman 'ala arsyistawa
@lutfiahmad6573
@lutfiahmad6573 6 ай бұрын
❤❤❤❤❤
@ziekastories8057
@ziekastories8057 6 ай бұрын
Sebagai tajaliNya, Allah memperlihatkan ekstitensiNya dalam diri kita, hanya saja hijab diri menghalangi kenyataan yang benar benar nyata adanya... Segala tajali yang tercipta, takkan pernah jauh dari sumberNya, karena semua tercipta dalam balutan sifat & asmaNya... Allah berada dan bersama dengan hamba hambanya yang mati, (mati sebelum mati)... Sejatinya semua tiada yang ada hanyalah DIA Yang Maha Agung, beruntung bagi yang mensucikannya & merugi baginyang mrngotorinya... Eling lan wospodo... Rahayu... Rahayu... Rahayu...
@BAMBANG-zl8ip
@BAMBANG-zl8ip 23 күн бұрын
HABIB 'UMARH AS 🌻🎗⛩🌦🌹➿⛨🌠🚩⛨🌠🚩 🖒
@BangboSeries-hl6je
@BangboSeries-hl6je 6 ай бұрын
ALLAH Tidak memerlukan Tempat,ruang,waktu..kerana ALLAH MAHA MELIPUTI..
@jaznchanel769
@jaznchanel769 6 ай бұрын
إن أبغض الرجال إلى الله الألد الخصم . متفق عليه “Sesungguhnya orang yang paling dimurkai oleh Allah adalah orang yang selalu mendebat.” (Riwayat Bukhari No 2457, Muslim No 2668).
@arie.arch.
@arie.arch. Ай бұрын
Jawaban dari Ulama Ahli Sunnah Allah beristiwa di atas Arsyinya Tanpa hrs menanyakan bagaimana beristiwa. Krn akal kita tdk akan nyampe.. Kita wajib beriman. Tiada sesuatu pun serupa dengan Nya.
@azizulhakim2067
@azizulhakim2067 6 ай бұрын
Masya Allah Allahuma sholli'ala sayyidina Muhammad wa'ala ali sayyidina Muhammad❤❤❤
@apchannel8620
@apchannel8620 6 ай бұрын
Yang pasti Allah itu ada di atas di bawah makhluk makhluk nya
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
MAHLUK terbagi menjadi a’yan (benda) dan a’radh (sifat benda, seperti bergerak, diam, naik,turun, duduk, berdiri dsb). Sedang benda itu ada jauhar al-fard (pembagian benda terkecil) dan jisim. Jisim sendiri ada lathif, yang tidak bisa dipegang. Misalnya angin, udara, cahaya, ruh, dll. Dan ada katsif, yaitu benda yang dapat disentuh tangan. Firman Allah: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ. (الشورى : 11( “Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya,” Maksudnya, Allah berarti bukan benda, bukan sifat benda, bukan jisim lathif maupun katsif. Allah tida boleh disifati dengang sifat benda seperti bergerak, diam, naik, turun, duduk, berdiri dan lain sebagainya. عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ. (رواه البخاري 2953( “Allah telah ada, dan belum ada sesuatupun selain-Nya.” Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata: إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْعَرْشَ إِظْهَارًا لِقُدْرَتِهِ وَلَمْ يَتَّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ. (الإمام ابو منصور البغدادي، الفرق بين الفرق، ص/256( “Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya.” Al-Imam Abu Ja'far al-Thahawi berkata dalam al-'Aqidah al-Thahawiyyah: تَعَالَى (يَعْنِىْ اللهُ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالْغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ. “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, sehingga Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti tangan, wajah dan anggota badan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya), Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang), tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut.”
@herdyan4066
@herdyan4066 6 ай бұрын
Masya Allah
@husenhusen3006
@husenhusen3006 6 ай бұрын
Ya benar kata habib kata harus mengikuti Nabi dan kata Nabi bila di tanya dimana Allah Maka nabi menjawab di atas langit..mudah dan simple g ribet 😊 itulah akidah kita
@irfanfakhrizal9166
@irfanfakhrizal9166 2 ай бұрын
Harusnya memang simple, karena masalah ini aslinya tidak penting. Yg mengetahui urusan Allah hanya Allah sendiri.
@muhammadalphafuadi2515
@muhammadalphafuadi2515 6 ай бұрын
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: وَهُوَ ٱللَّهُ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَفِي ٱلۡأَرۡضِ يَعۡلَمُ سِرَّكُمۡ وَجَهۡرَكُمۡ وَيَعۡلَمُ مَا تَكۡسِبُونَ "Dan Dialah Allah (yang disembah), di langit atau pun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan dan mengetahui (pula) apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-An'am 6: Ayat 3)
@KhalifahShidik
@KhalifahShidik 6 ай бұрын
😍😍😍😍😇😇😇
@muhammadfarhani3429
@muhammadfarhani3429 6 ай бұрын
Saya suka kontennya min kalo bisa banyakin🙏
@muhadilebus7868
@muhadilebus7868 6 ай бұрын
Dmana nyawa manusia Bisakah kamu berfikir atau membayangkan bentuknya Jika nyawa saja yg ciptakan-Nya tidak bisa kita lihat Apa lagi sang pencipta itu sendiri
@shadowwww759
@shadowwww759 6 ай бұрын
jangan tanya dimana allah. tanyakan sesuatu yang akan menyelamatkan dirimu dan keluargamu dari azab dan siksa allah fidunya wal akhirah ..😊
@fusestation2839
@fusestation2839 5 ай бұрын
ulu amri yang betul Habib Umar ni...aku jauh kat kampung pun dia lawat....tapi dia duit takde, naik motor Wave S lama jer
@iqbalnurrochim6500
@iqbalnurrochim6500 Ай бұрын
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى "(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas 'Arsy." (QS. Ta-Ha 20: Ayat 5) Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيْدُ  "yang memiliki 'Arsy, lagi Maha Mulia," (QS. Al-Buruj 85: Ayat 15) Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: قُلْ مَنْ رَّبُّ السَّمٰوٰتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ "Katakanlah, "Siapakah Tuhan yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki 'Arsy yang agung?"" (QS. Al-Mu'minun 23: Ayat 86) Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: قُلْ لَّا يَعْلَمُ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ الْغَيْبَ اِلَّا اللّٰهُ ۗ وَمَا يَشْعُرُوْنَ اَيَّا نَ يُبْعَثُوْنَ "Katakanlah (Muhammad), "Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah. Dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan."" (QS. An-Naml 27: Ayat 65) Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: عٰلِمِ الْغَيْبِ وَا لشَّهَا دَةِ فَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ "(Dialah Tuhan) yang mengetahui semua yang gaib dan semua yang tampak. Maha Tinggi (Allah) dari apa yang mereka persekutukan." (QS. Al-Mu'minun 23: Ayat 92)
@mohammed_deenabdeilli
@mohammed_deenabdeilli 6 ай бұрын
Ya allah ampunin dosa2 hamba, maafkanlah hamba....hamba sudah keluar dari jalan yg lurus....hamba kesulitan dalam bernafas karna kegemukan....mungkin efek dari dosaku yg banyak....maafkan diriku ya allah
@ZoelFikar-ib4lu
@ZoelFikar-ib4lu 6 ай бұрын
Saya juga mau minta maaf sama orang2 yg sholeh 'mana tau komenku jelek & jahat maafkan yah bapak habib2 dosaku juga sudah banyak
@user-zd4bl5xz2l
@user-zd4bl5xz2l 6 ай бұрын
Ini ngaji Tauhid, penjabaran nya sangat jelas banget dalam Al-Qur'an,.... Allahu lebih dekat dari urat leher manusia,lebih halus dari sapaan angin, lebih halus dari ruang hampa udara, ...lebih...lebih....Maha suci Allah SWT dari apa yang mereka sifatkan......
@ropikoke5952
@ropikoke5952 6 ай бұрын
😂😂😂saya baca komentarnya lucu2 ada yang pake nafsu sampek saling ngata2i ...dan klo d lihat comen2nya kyknya muslim smua yaaaa.....saya cma ingin psankan ......apapun itu yang pntng masih iman & islam ......smua akan bertemu di syurganya allah ......
@Abu_Hanifah
@Abu_Hanifah 6 ай бұрын
Pertama: Dalil tegas yang menyatakan Allah berada di atas (dengan menggunakan kata fawqo dan diawali huruf min). Seperti firman Allah, يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ “Mereka takut kepada Rabb mereka yang (berada) di atas mereka.” (QS. An Nahl : 50) Kedua: Dalil tegas yang menyatakan Allah berada di atas (dengan menggunakan kata fawqo, tanpa diawali huruf min). Contohnya seperti firman Allah Ta’ala, وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ “Dan Dialah yang berkuasa berada di atas hamba-hambaNya.” (QS. Al An’am : 18, 61) Ketiga: Dalil tegas yang menyatakan sesuatu naik kepada-Nya (dengan menggunakan kata ta’ruju). Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabbnya.” (QS. Al Ma’arij : 4) Keempat: Dalil tegas yang menyatakan sesuatu naik kepada-Nya (dengan menggunakan kata sho’ada- yash’adu). Ini pasti menunjukkan bahwa Allah di atas sana dan tidak mungkin Dia berada di bawah sebagaimana makhluk-Nya. Seperti firman Allah Ta’ala, إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik.” (QS. Fathir: 10).
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
١. ولم يكن له كفوا احد ٢.ليس كمثله شيء
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
MAHLUK terbagi menjadi a’yan (benda) dan a’radh (sifat benda, seperti bergerak, diam, naik,turun, duduk, berdiri dsb). Sedang benda itu ada jauhar al-fard (pembagian benda terkecil) dan jisim. Jisim sendiri ada lathif, yang tidak bisa dipegang. Misalnya angin, udara, cahaya, ruh, dll. Dan ada katsif, yaitu benda yang dapat disentuh tangan. Firman Allah: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ. (الشورى : 11( “Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya,” Maksudnya, Allah berarti bukan benda, bukan sifat benda, bukan jisim lathif maupun katsif. Allah tida boleh disifati dengang sifat benda seperti bergerak, diam, naik, turun, duduk, berdiri dan lain sebagainya. عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ. (رواه البخاري 2953( “Allah telah ada, dan belum ada sesuatupun selain-Nya.” Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata: إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْعَرْشَ إِظْهَارًا لِقُدْرَتِهِ وَلَمْ يَتَّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ. (الإمام ابو منصور البغدادي، الفرق بين الفرق، ص/256( “Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya.” Al-Imam Abu Ja'far al-Thahawi berkata dalam al-'Aqidah al-Thahawiyyah: تَعَالَى (يَعْنِىْ اللهُ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالْغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ. “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, sehingga Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti tangan, wajah dan anggota badan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya), Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang), tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut.”
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
Dalam berbagai kitab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelajari di pesantren, banyak sekali penjelasan bahwa peristiwa Mi’raj atau naiknya Nabi Muhammad ke langit untuk menerima wahyu shalat tak menunjukkan bahwa Dzat Allah bertempat di atas, atau di arah manapun. Namun seiring maraknya penulis-penulis konten keislaman yang tak paham khazanah pesantren, marak pula informasi yang tidak tepat perihal Mi’raj yang kemudian dianggap sebagai bukti bahwa Allah berada secara fisik di atas langit. Bertebaran pula meme-meme salah paham seperti itu. Bagaimana sebenarnya kita harus memahami kejadian Mi’raj? Mi'raj adalah berangkatnya Nabi Muhammad ke atas sidratul muntaha. Beliau menerima perintah shalat di sana. Sepanjang penelurusan penulis, tak ada penyebutan Arasy dalam ayat atau hadits-hadits Mi’raj. Kejadian Mi’raj ini sebenarnya sama dengan peristiwa ketika Nabi Musa mendapat perintah langsung dari Allah di puncak gunung Tursina (QS. Thaha: 10-36). Semua kisah ini berbicara tentang tempat hamba Allah menerima wahyu, bukan tentang tempat Allah. Dikisahkan bahwa Nabi bolak balik dari tempatnya di atas sidratul muntaha ke tempatnya Nabi Musa di langit ke tujuh lalu ke atas lagi untuk memohon keringanan. Dalam riwayat-riwayat sahih kita dapati bahwa yang naik turun adalah Nabi Muhammad. Beliau naik ke tempat ia menerima wahyu dan turun ke tempat Nabi Musa lalu naik lagi ke tempat menerima wahyu sebelumnya dan itu terjadi berulang-ulang. Tempat yang kita bicarakan ini adalah tempat Nabi sendiri, bukan tempat Allah. Kalau Allah mau, Dia bisa memberikan wahyunya secara langsung di manapun hambanya berada seperti yang terjadi pada JIbril yang menerima wahyu dari Allah di mana pun ia berada secara langsung. Sama sekali tak ada bahasan tentang tempat Allah dalam riwayat-riwayat itu kecuali dalam persangkaan orang yang salah paham yang menyangka bahwa bagi Allah juga berlaku hukum alam sebagaimana yang kita kenal di dunia ini. Dalam benak mereka, tatkala kita berbicara dengan seorang manusia, maka pastilah orang itu berada di suatu tempat sebagaimana kita juga berada di suatu tempat. Maka ketika Allah berfirman pada hamba-Nya di langit kemudian disimpulkan bahwa Allah juga berada dalam suatu tempat, yang dalam hal ini adalah langit. Tak pernahkah mereka membaca sekian banyak riwayat yang berisi tentang tempat Malaikat Jibril menerima wahyu di mana saja? Lalu apa yang mereka pikirkan tentang itu? Tak ingatkah bahwa Nabi Musa "bertemu" dan berdialog dengan Allah di gunung Tursina? maka apa yang bisa disimpulkan dari itu? Apakah berarti Allah sering berpindah tempat dari langit ke bumi dan muat di dalamnya? Padahal, kita sendiri juga sering bolak-balik pergi masjid hanya untuk menyampaikan untaian doa yang kita panjatkan ke Allah. Bahkan banyak dari kita menabung supaya bisa bolak-balik ke Masjidil Haram untuk melakukannya. Apakah dari sini lantas bisa disimpulkan bahwa kita meyakini Dzat Allah berada di dalam Masjid atau di dalam Ka'bah? Tentu tidak demikian. Kita juga mengenal arti istilah "mendekatkan diri kepada Allah" atau taqarrub yang sama sekali tak bermakna mendekat secara fisik. Lalu kenapa dalam peristiwa Mi'raj kata mendekatkan diri lantas berubah menjadi mendekat secara fisik? Tentu hal ini tak beralasan. Demikianlah para ulama Ahlussunnah seluruhnya memahami peristiwa Isra’-Mi’raj. Ketika mereka menceritakan kisah “tawar menawar” jumlah shalat sebagaimana riwayat Imam Bukhari berikut ini: فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جِبْرِيلَ كَأَنَّهُ يَسْتَشِيرُهُ فِي ذَلِكَ، فَأَشَارَ إِلَيْهِ جِبْرِيلُ: أَنْ نَعَمْ إِنْ شِئْتَ، فَعَلاَ بِهِ إِلَى الجَبَّارِ، فَقَالَ وَهُوَ مَكَانَهُ: يَا رَبِّ خَفِّفْ عَنَّا فَإِنَّ أُمَّتِي لاَ تَسْتَطِيعُ هَذَا “Kemudian Nabi menoleh ke arah Jibril seakan bermusyawarah tentang hal itu. Kemudian Jibril mengisyaratkan pada beliau: “Ya, bila Anda menghendaki [permohonan untuk dikurangi].” Lalu Nabi naik pada Tuhan sedangkan ia di tempatnya dan berkata: Ya Tuhan, ringankanlah dari kami. Sesungguhnya umatku tak mampu melakukan ini...” (HR. Bukhari) Para ulama menjelaskan bahwa kalimat “Wahuwa makânahu” dalam hadits di atas, bukan berarti bahwa Allah ada di tempat itu, tetapi Nabi-lah yang berada di tempatnya semula meneriwa wahyu shalat 50 kali sehari. Imam al-Hafidz Al-Qasthalani menjelaskan: فقال) عليه الصلاة والسلام (وهو مكانه) أي في مقامه الأوّل الذي قام فيه قبل هبوطه “Dia berada di tempatnya, maksudnya Nabi Muhammad berada di tempatnya yang awalnya di tempati sebelum turunnya.” (al-Qasthalani, Irsyâd as-Sârî Lisyarh Shahîh al-Bukhârî, juz X, halaman 449) Demikian juga Imam al-Hafidz Ibnu Hajar menegaskan makna “tempat” di hadits Mi’raj itu dengan menukil pernyataan Imam al-Khattabi lalu menguatkannya sebagaimana berikut: قَالَ الْخَطَّابِيُّ ... وَالْمَكَانُ لَا يُضَافُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى إِنَّمَا هُوَ مَكَانُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَقَامِهِ الْأَوَّلِ الَّذِي قَامَ فِيهِ قَبْلَ هُبُوطِهِ انْتَهَى وَهَذَا الْأَخِيرُ مُتَعَيَّنٌ وَلَيْسَ فِي السِّيَاقِ تَصْرِيحٌ بِإِضَافَةِ الْمَكَانِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى “Al-Khattabi berkata: ... Tempat itu tak disandarkan pada Allah Ta’ala, sesungguhnya itu tak lain adalah tempat Nabi ﷺ di tempat berdirinya sebelumnya sebelum turun. Ini akhir nukilan al-Khattabi. Keterangan terakhir ini sudah pasti dan dalam konteks hadits sama sekali tak ada penjelasan penisbatan tempat itu pada Allah Ta’ala.” (Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, juz XIII, halaman 484) Lalu untuk apa Nabi dipanggil ke langit untuk Isra’-Mi’raj? Jawabannya dapat kita lihat dalam surat al-Isra’: 1, yaitu untuk memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya (linuriyahu min âyâtinâ). Sedangkan saat Nabi telah naik ke langit, maka Allah juga memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah yang jauh lebih besar lagi (laqad ra'â min âyâti rabbihi al-kubrâ), QS. An-Najm: 18. Demikianlah penuturan al-Qur'an yang seharusnya kita terima bulat-bulat bahwa isra' dan mi'raj itu hanya soal memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah, bukan dalam rangka membawa Nabi ke “tempat Allah.” Selain itu, para ulama menunjukkan hikmah bahwa peristiwa ini untuk menunjukkan keagungan shalat sehingga perintahnya diberikan di langit sana, bukan di bumi seperti perintah lainnya. Mereka yang memaksakan diri barkata bahwa Mi'raj adalah pembuktian keberadaan Allah secara fisik di langit akan mengalami kontradiksi dengan keyakinan mereka sendiri. Di antara kontradiksinya adalah: 1. Apabila dimaknai bahwa Nabi Muhammad menemui Allah di Arasy, maka bukankah itu berarti mengatakan bahwa ketinggian Allah bisa dicapai juga oleh makhluk? Lalu apa spesialnya sifat ‘uluw yang biasa mereka maknai sebagai ketinggian fisik untuk Allah kalau akhirnya bisa juga dicapai oleh seorang manusia? 2. Mereka yang menganggap Allah bertempat di atas langit juga mengatakan bahwa lokasi Allah terpisah dari makhluknya (bâ'inun min khalqihi) dalam arti terpisah lokasinya dari makhluk, namun kenapa dalam kasus mi'raj mengatakan bahwa Allah berada dalam satu tempat dengan Nabi? 3. Sebagian orang yang menganggap Allah bertempat di atas langit juga mengatakan bahwa tempat Allah itu pada hakikatnya adalah tempat ketiadaan (al-makân al-'adami) yang tak ada batasnya, tapi kenapa dalam kasus Mi'raj justru menyatakan berada dalam satu tempat dengan Nabi? Apakah Nabi yang keberadaannya berbetuk fisik itu juga juga bisa berada di tempat ketiadaan itu? 4. Di sisi lain Allah dianggap turun setiap sepertiga malam terakhir ke langit dunia (langit pertama) secara hakikat, lalu kenapa saat itu Allah ada di atas sana padahal di bumi sedang ada lokasi yang mengalami sepertiga malam terakhir? Memangnya Allah ada berapa? Kenapa tak menemui Allah di langit dunia saja kalau demikian? Itulah sederet inkonsistensi mereka yang memahami peristiwa mi'raj dengan cara sederhana dengan mengira bahwa hukum alam yang sejatinya khusus bagi manusia juga harus berlaku pada Allah. Semua inkonsistensi di atas akan terpecahkan ketika mengikuti pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah bahwa Allah tak bertempat, tak terbatas ruang, tak bergerak, dan kemahatinggiannya tidak boleh dipahami secara fisik. Berbagai dalil-dalil dan paparan ulama dalam hal ini telah dipaparkan dalam kajian-kajian sebelumnya. Wallahu a'lam.
@purwoadisaputro7221
@purwoadisaputro7221 6 ай бұрын
Aman tenang Aku Islam Aqidah Asy'ariyah bermazhab syaffi ikut thariqoh balawi Masalah Allah berada diatas arasy Gampang itu ma Cukup gw imani Dan gw percaya Allah ga butuh apapun
@hendyadheeva666
@hendyadheeva666 5 ай бұрын
Para habib negdukung Paslon mana ya ? Saya bakal ikutin pilihan habib
@aansuryanasjam1225
@aansuryanasjam1225 6 ай бұрын
سألتك أين اليمن؟ هنا في اندونيسيا لا تنسى العودة إلى المنزل
@cahayadidalamcahaya2295
@cahayadidalamcahaya2295 6 ай бұрын
Saya pernah menemui Allah di arsy karena diajak wujud seseorang. Melesat keatas melintasi angkasa luar, karena lama tidak sampai sampai saya tertidur. Terbangun setelah mendengar " kita sudah sampai". Pengantar saya tidak mengikuti saya yang perlahan lahan mendekati bintang bersinar putih dihadapan saya. Saya masuk ke bintang bersinar putih tersebut dan tiba tiba ....gelap, sejauh pandangan saya terlihat angkasa luar tanpa bintang. Dan Allah ambil janji saya, Allah berfirman" sewaktu menjalani kehidupan di dunia anggap dan sembahlah Aku sebagai Tuhanmu ". Disaksikan oleh para malaikat hamalatul al arsy. QS Al Hadid 8. Setiap roh manusia yang hendak menjalani kehidupan di dunia harus berjanji dahulu kepada Nya. Dan saya melihat tabir Nya, Allah nge zoom dengan tiap roh manusia yang akan ditiupkan Nya dari langit ketujuh ke janin dikandungan Ibunda. Perjanjian ini kelak kalian teringat kembali dihari kiamat QS Al Araf 172. Alhamdulillah.
@stick11mation37
@stick11mation37 6 ай бұрын
Tolol
@cahayadidalamcahaya2295
@cahayadidalamcahaya2295 6 ай бұрын
@thinkt5186 , Pengalaman adalah guru paling berharga dan pengalaman menghasilkan ingatan. Ingatan saya berdalil Al Qur'an karena awalnya saya bingung karena ada ingatan seperti itu, Alhamdulillah Allah tunjukkan bahwa ingatan saya tertuang dalam kitab suci Al Qur'an. Sudah saya tuliskan QS Al Hadid 8 yang Allah ambil janji setiap roh manusia yang akan menjalani kehidupan di dunia. Apakah anda menganggap Al Qur'an firman Nya adalah dusta ?. Itulah neraka diciptakan oleh Allah agar menghukum orang-orang kafir (ingkar janji dan mendustakan ayat-ayat Al Qur'an). Setiap anak terlahir Islam kedua orang tuanya yang menjadikan anak tersebut beragama Majusi, Yahudi dan Nasrani. Hadits sahih. SAYA MENEMUI ALLAH DI ARSY DAN NGE ZOOM DENGAN ALLAH (melihat tabir Nya). Allah tidak bergantung pada tempat dan waktu karena Allah maha kuasa. Allah maha pencipta, yang terlihat dan bisa diketahui berarti ciptaan Nya. Allah maha pencipta sehingga tidak tercipta maka maha esa. Alhamdulillah saya melihat tabir Nya (zooming dengan Nya).
@NurhalizaQurratuain
@NurhalizaQurratuain Ай бұрын
Ass Habib Umar.Ana sangat ingin ketemu Habib.Tolong bagaimana caranya.Wass
@NurhalizaQurratuain
@NurhalizaQurratuain Ай бұрын
Ass Habib Umar.Ana ingin ketemu habib bgmn caranya Wass
@boykaelang3915
@boykaelang3915 4 ай бұрын
Allah di atas arys Kalau ada org yg mengatakan allah dimana mana itu orang sakit
@muhammadadi-zj1wv
@muhammadadi-zj1wv 2 ай бұрын
Jgn pernah meng adakan suatu tempat bagi tuhan dgn suatu pertanyaan dimana kah tuhan krna sesunghuh nya tuhan tiada bertempat ..jgn kan tuhan ruh aja cari gak dapat2 ayam lepas aja di cari blm tentu dapat apa lagi tuhan yg TDK sebanding dgn mahluk...bagaimana manusia bisa mengenal tuhan sdg kan manusia SDH di jdi kan menjadi manusia..klo ada manusia bisa mengenal tuhan dengan manusia maka dusta belaka
@anyamannyaman
@anyamannyaman 5 ай бұрын
Pakar hadits dan fiqh dari madzhab Syafi'i, Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata: من لم يُقرّ بأن الله تعالى على عرشه قد استوى فوق سبع سمواته فهو كافر بربه، يُستتاب فإن تاب وإلا ضُربت عنقه. "Barangsiapa tidak menetapkan bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘Arsy-Nya di atas tujuh langit-Nya, maka dia telah kafir terhadap Tuhannya. Ia mesti dimintai/dituntut untuk bertaubat, maka sekiranya bertaubat. Jika tidak mau bertaubat, maka dipenggal lehernya”. (Lihat Kitab Ma’rifat ‘Uluumil Hadiits wa Kamiyyati Ajnaasihii hal.285 No.187 karya Abu ‘Abdillah al Haakim an Naisaabuuri, Syarah dan tahqiq oleh Ahmad bin Faaris as Saluum. Penerbit Daar Ibnu Hazm)
@ptolemism
@ptolemism 6 ай бұрын
beriman dengan apa yg telah ditetapkan oleh Allah & Rasul-nya... termasuk mengimani bahwa Allah beristiwa diatas Arsy' karena memang itu yg disampaikan kepada kita adapun pertanyaan-pertanyaan seperti: kalau gitu berarti Allah lebih kecil dari singgasana nya dong? kalo gitu Allah butuh tempat dong? berarti sama kek makhluk dong? kalo gitu... kalau gitu... bla³ dst... jawabannya: itu aneh kalau menurut logika kita, anda menuduh kita menyamakan Allah dgn makhluknya... sedangkan anda sendiri menyamakan istiwa nya Allah seperti istiwa makhluknya... singgasana yg lebih kecil dari yg mendudukinya... itu terjadi kalau ente yg duduk, bukan Allah... gabisa disamain trus gimana dong? jawabannya: "kita imani, tanpa mempertanyakan... karena akal tidak setara dgn wahyu" Al-Imam Malik rahimahullah pernah berkata: "Istiwa itu ma'lum(diketahui), adapun hakikatnya tidak diketahui, mengimaninya wajib, & bertanya tentang nya adalah BID'AH" maka dari itu... jgn banyak tanya, apalagi sampai menyamakan Allah dgn makhluknya... jgn disamakan singgasana Allah dgn singgasana raja² manusia!
@Irnovi27
@Irnovi27 2 ай бұрын
Lalu dimana Allah?
@sunucruise
@sunucruise 6 ай бұрын
Pertanyaan sederhana: 1. Isra miraj perjalanan dari mana ke mana ya? 2. Di sana ketemu siapa?
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
MAHLUK terbagi menjadi a’yan (benda) dan a’radh (sifat benda, seperti bergerak, diam, naik,turun, duduk, berdiri dsb). Sedang benda itu ada jauhar al-fard (pembagian benda terkecil) dan jisim. Jisim sendiri ada lathif, yang tidak bisa dipegang. Misalnya angin, udara, cahaya, ruh, dll. Dan ada katsif, yaitu benda yang dapat disentuh tangan. Firman Allah: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ. (الشورى : 11( “Tak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya,” Maksudnya, Allah berarti bukan benda, bukan sifat benda, bukan jisim lathif maupun katsif. Allah tida boleh disifati dengang sifat benda seperti bergerak, diam, naik, turun, duduk, berdiri dan lain sebagainya. عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ. (رواه البخاري 2953( “Allah telah ada, dan belum ada sesuatupun selain-Nya.” Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata: إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْعَرْشَ إِظْهَارًا لِقُدْرَتِهِ وَلَمْ يَتَّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ. (الإمام ابو منصور البغدادي، الفرق بين الفرق، ص/256( “Sesungguhnya Allah menciptakan Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya.” Al-Imam Abu Ja'far al-Thahawi berkata dalam al-'Aqidah al-Thahawiyyah: تَعَالَى (يَعْنِىْ اللهُ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالْغَايَاتِ وَاْلأَرْكَانِ وَاْلأَدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ. “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, sehingga Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti tangan, wajah dan anggota badan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya), Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang), tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut.”
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
Salah satu yang sering disalahpahami secara massal oleh Salafi-Wahabi adalah anggapan bahwa Asy’ariyah mewajibkan mentakwil kata Istawa dalam al-Qur’an dengan makna Istawla. Akhirnya mereka mengoleksi berbagai kelemahan takwilan ini sebagai celah kritik. Ada yang bilang kalau diartikan istawla berarti Allah harus bertengkar dulu dengan Arasy. Ada juga yang bilang kalau istawla ini hanya berdasarkan syair orang Kristen bernama Akhthal. Ada yang bilang kalau makna istawla ini tidak cocok dengan beberapa siyaq (konteks ayat). Ada juga yang menanyakan kalau maksudnya adalah menguasai berarti apa gunanya disebut arasy saja? Bukankah Allah menguasai semuanya? Ada juga yang menggugat dengan aneh, apa bisa dikatakan Allah istawla atas tempat sampah? dan sebagainya. Semua hal ini muncul akibat kesalahpahaman. Ada juga yang memgklaim bahwa makna istawla ini tak dikenal dalam bahasa Arab. Tentu saja klaim ini tak bisa dipertahankan secara akademik sebab faktanya berbalik 180 derajat. Sebenarnya bagaimana sih faktanya supaya enak kalau berdialog dengan Salafi-Wahabi? Saya buat poin-poin sederhana sebagaimana berikut supaya mudah. 1. Asy’ariyah tak semua mentakwil. Banyak dari mereka memilih jalan tafwidh dan mengkritik keras takwil. Saya (Abdul Wahab Ahmad) termasuk yang tak suka mentakwil kecuali konteksnya kepepet betul. 2. Di antara Asy’ariyah yang mentakwil, tidak ada satu pun yang mewajibkan arti istawla dalam semua konteks istawa. Coba baca Syarh Bukhari karya Ibnu Hajar atau Syarah Muslim karya an-Nawawi atau Asma’ Was Shifat karya Imam Baihaqi dan kitab ulama Asy’ariyah lainnya. Arti istawa ada banyak sekali, ada al-Qashdu, al-Qahru, ‘Ala’ wartafa’a, dan seterusnya. Istawla hanya salah satu arti yang disodorkan dari berbagai macam arti yang ada. Ini harus dipahami dengan baik supaya tak ada kesan harus mempertanggungjawabkan makna istawla sebab tak ada yang mewajibkan makna itu. Itu hanya salah satu opsi makna. Dalam konteks berbeda, misalnya dalam konteks ayat ثم استوى إلى السماء, sedikit sekali yang menafsirkan sebagai istawla. Yang banyak adalah qashada. 3. Adakah generasi salaf yang memaknai istawa sebagai istawla? Bila generasi salaf yang dimaksud adalah tiga qurun pertama, maka jawabannya adalah: Ada. Abu Abdirrahman Ibnul Mubarak (w.237) Masyhur dengan nama Ibn al-Yazidi, seorang mufassir dan ahli bahasa Arab, yang hidup di qurun ketiga, dalam kitabnya yang berjudul Gharib al-Qur’an wa Tafsiruhu mengatakan: {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى } [سورة طه:5] استوى: استولى” اهـ Ar-Rahman Istawa atas Arays, maksudnya adalah istawla (menguasai secara mutlak). 4. Apa maksud istawla itu? Yang mentakwil istawa sebagai istawla itu maksudnya adalah استولى بالقهر والتدبير, yaitu kekuasaan mutlak Allah tanpa proses penaklukan terlebih dahulu dan berupa pengurusan-Nya terhadap makhluk. Lihat penjabaran istawla yang dilakukan Imam at-Thabrani (w. 360) dalam at-Tafsir al-Kabir berikut: والاستواء: الاستيلاء، ولم يـزل الله سبحانه مستوليا على الأشياء كلها، إلا أن تخصيص العرش لتعظيم شأنه.اهـ Istiwa’ adalah Istila’ (menguasai) dan Allah tak henti-hentinya menguasai segala sesuatu, hanya saja Arasy disebut secara khusus karena mengagungkannya. Lihat juga penjabaran makna istawa yang dilakukan oleh Imam besar Asy’ariyah, Imam Ibnu Furak (w.406) dalam kitabnya yang berjudul Musykil al-Hadis, berikut: لأن استواءه على العرش سبحانه ليس على معنى التمكن والاستقرار، بل هو على معنى العلو بالقهر والتدبير وارتفاع الدرجة بالصفة، على الوجه الذي يقتضي مباينة الخلق. اهـ Karena Istiwa’nya Allah atas Arasy tidaklah dengan makna bertempat atau tinggal menetap, tetapi atas makna uluw (Maha Tinggi) dengan menundukkan, mengurus, dan bersifat tinggi derajatnya dalam konteks yang berbeda sepenuhnya dengan makhluk. Dari penjelasan kedua Imam ini kita tahu bahwa menguasai secara mutlak dan mengatur/mengurus layak disematkan kepada Allah sebab faktanya Allah memang menguasai segala hal. Kalau ada yang mempertanyakan apakah Allah menguasai tempat sampah? Maka keimanan orang ini bermasalah sebab secara tak langsung dia mengatakan bahwa ada hal di dunia ini yang tak dikuasai Allah dan luput dari qahru dan tadbir-Nya. Padahal semua mukmin tahu bahwa Allah adalah al-Qahhar dan al-Mudabbir. 5. Apakah dasar makna استولى بالقهر ini? Jawabannya adalah semua ayat yang menyebutkan bahwa Allah punya shifat Qahr. Dalam asma’ul Husna juga dikenal nama al-Qahhar. Ini semua adalah dasar yang tak layak dipertanyakan lagi oleh semua muslim. Saya rasa ini tak perlu dikutip sebab sudah maklum. 6. Karena istawla dan al-Qahru ini maksudnya sama saja, maka sebagian ulama langsung saja mengartikan istawa sebagai al-Qahru. Misalnya Imam Abu Manshur an-Nisaburi (w. 421), seperti halnya dinukil oleh Imam al-Baihaqi dalam al-Asma’ wash-Shifat, mengatakan: إن كثيرا من متأخري أصحابنا ذهبوا إلى أن الاستواء هو القهر والغلبة. اهـ Sesungguhnya banyak dari kawan-kawan kami dari kalangan ulama muta’akhirin berpendapat bahwa sesungguhnya istiwa’ adalah al-Qahru (menundukkan) dan al-Ghalabah (mendominasi). 7. Bukankah istawla itu maksudnya menaklukkan setelah bertengkar terlebih dulu? Kalaupun ada yang memahami bahwa istawla bermakna demikian, maka itu bukan makna yang dimaksud Asy’ariyah sehingga jangan memfitnah Asy’ariyah dengan sesuatu yang tidak pernah mereka katakan. Jangan pernah! 8. Kenapa menyebut Arasy saja kalau maknanya demikian? Sebab Arasy adalah makhluk terbesar, kerajaan teragung sehingga menyebutnya secara khusus sebagai tanda bahwa yang paling besar saja dikuasai dengan mutlak apalagi yang kecil-kecil. Demikian penjelasan para ulama, di antaranya adalah Imam al-Hafidz Al-Baihaqi (w458) dalam al-Asma’ wash-Shifat. Beliau mengatakan: وَإِنَّمَا خَصَّ الْعَرْشَ بِالذِّكْرِ لِأَنَّهُ أَعْظَمُ الْمَمْلُوكَاتِ، فَنَبَّهَ بِالْأَعْلَى عَلَى الْأَدْنَى. Arasy disebutkan secara khusus tidak lain hanya karena ia merupakan makhluk paling besar, maka dengan menyebutnya sudah mencakup yang lebih kecil. 9. Apakah ada dasarnya dari al-Qur’an dan hadis kalau makna istawa adalah istawla? Ini pertanyaan super bodoh. Kalau di al-Qur’an/hadis sudah ada pernyataan gamblang tentang makna istawa, maka tak kan ada ulama ikhtilaf. Tak ada juga yang akan repot-repot mencari di kamus arab atau di syair-syair arab. Semua penafsiran istawa, apapun itu, baik yang memahaminya secara hissi sebagai istaqarra fi makan (berdiam di tempat), qu’ud/julus (duduk bersemayam), ataupun yang memahami secara metafora seperti menguasai secara mutlak (al-Qahru/istila’), at-tadbir (mengurus), semuanya bukan berasal dari ayat atau hadis tetapi melalui pendekatan bahasa. Dari berbagai makna yang didapat dari bahasa itulah para ulama berdebat mana makna yang layak disematkan pada Allah dan makna yang tidak layak.
@sunucruise
@sunucruise 6 ай бұрын
Masih belum bisa menjawab pertanyaan saya. Padahal pertanyaannya sederhana. Sekarang ganti pertanyaan. Rasulullah bisa mendatangi kita di alam dunia melalui mimpi. Pertanyaannya, bisakah kita bertemu Rasulullah selain di dalam mimpi?
@RosantiHamsih-kn1nl
@RosantiHamsih-kn1nl 6 ай бұрын
@@sunucruise Dalam berbagai kitab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelajari di pesantren, banyak sekali penjelasan bahwa peristiwa Mi’raj atau naiknya Nabi Muhammad ke langit untuk menerima wahyu shalat tak menunjukkan bahwa Dzat Allah bertempat di atas, atau di arah manapun. Namun seiring maraknya penulis-penulis konten keislaman yang tak paham khazanah pesantren, marak pula informasi yang tidak tepat perihal Mi’raj yang kemudian dianggap sebagai bukti bahwa Allah berada secara fisik di atas langit. Bertebaran pula meme-meme salah paham seperti itu. Bagaimana sebenarnya kita harus memahami kejadian Mi’raj? Mi'raj adalah berangkatnya Nabi Muhammad ke atas sidratul muntaha. Beliau menerima perintah shalat di sana. Sepanjang penelurusan penulis, tak ada penyebutan Arasy dalam ayat atau hadits-hadits Mi’raj. Kejadian Mi’raj ini sebenarnya sama dengan peristiwa ketika Nabi Musa mendapat perintah langsung dari Allah di puncak gunung Tursina (QS. Thaha: 10-36). Semua kisah ini berbicara tentang tempat hamba Allah menerima wahyu, bukan tentang tempat Allah. Dikisahkan bahwa Nabi bolak balik dari tempatnya di atas sidratul muntaha ke tempatnya Nabi Musa di langit ke tujuh lalu ke atas lagi untuk memohon keringanan. Dalam riwayat-riwayat sahih kita dapati bahwa yang naik turun adalah Nabi Muhammad. Beliau naik ke tempat ia menerima wahyu dan turun ke tempat Nabi Musa lalu naik lagi ke tempat menerima wahyu sebelumnya dan itu terjadi berulang-ulang. Tempat yang kita bicarakan ini adalah tempat Nabi sendiri, bukan tempat Allah. Kalau Allah mau, Dia bisa memberikan wahyunya secara langsung di manapun hambanya berada seperti yang terjadi pada JIbril yang menerima wahyu dari Allah di mana pun ia berada secara langsung. Sama sekali tak ada bahasan tentang tempat Allah dalam riwayat-riwayat itu kecuali dalam persangkaan orang yang salah paham yang menyangka bahwa bagi Allah juga berlaku hukum alam sebagaimana yang kita kenal di dunia ini. Dalam benak mereka, tatkala kita berbicara dengan seorang manusia, maka pastilah orang itu berada di suatu tempat sebagaimana kita juga berada di suatu tempat. Maka ketika Allah berfirman pada hamba-Nya di langit kemudian disimpulkan bahwa Allah juga berada dalam suatu tempat, yang dalam hal ini adalah langit. Tak pernahkah mereka membaca sekian banyak riwayat yang berisi tentang tempat Malaikat Jibril menerima wahyu di mana saja? Lalu apa yang mereka pikirkan tentang itu? Tak ingatkah bahwa Nabi Musa "bertemu" dan berdialog dengan Allah di gunung Tursina? maka apa yang bisa disimpulkan dari itu? Apakah berarti Allah sering berpindah tempat dari langit ke bumi dan muat di dalamnya? Padahal, kita sendiri juga sering bolak-balik pergi masjid hanya untuk menyampaikan untaian doa yang kita panjatkan ke Allah. Bahkan banyak dari kita menabung supaya bisa bolak-balik ke Masjidil Haram untuk melakukannya. Apakah dari sini lantas bisa disimpulkan bahwa kita meyakini Dzat Allah berada di dalam Masjid atau di dalam Ka'bah? Tentu tidak demikian. Kita juga mengenal arti istilah "mendekatkan diri kepada Allah" atau taqarrub yang sama sekali tak bermakna mendekat secara fisik. Lalu kenapa dalam peristiwa Mi'raj kata mendekatkan diri lantas berubah menjadi mendekat secara fisik? Tentu hal ini tak beralasan. Demikianlah para ulama Ahlussunnah seluruhnya memahami peristiwa Isra’-Mi’raj. Ketika mereka menceritakan kisah “tawar menawar” jumlah shalat sebagaimana riwayat Imam Bukhari berikut ini: فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جِبْرِيلَ كَأَنَّهُ يَسْتَشِيرُهُ فِي ذَلِكَ، فَأَشَارَ إِلَيْهِ جِبْرِيلُ: أَنْ نَعَمْ إِنْ شِئْتَ، فَعَلاَ بِهِ إِلَى الجَبَّارِ، فَقَالَ وَهُوَ مَكَانَهُ: يَا رَبِّ خَفِّفْ عَنَّا فَإِنَّ أُمَّتِي لاَ تَسْتَطِيعُ هَذَا “Kemudian Nabi menoleh ke arah Jibril seakan bermusyawarah tentang hal itu. Kemudian Jibril mengisyaratkan pada beliau: “Ya, bila Anda menghendaki [permohonan untuk dikurangi].” Lalu Nabi naik pada Tuhan sedangkan ia di tempatnya dan berkata: Ya Tuhan, ringankanlah dari kami. Sesungguhnya umatku tak mampu melakukan ini...” (HR. Bukhari) Para ulama menjelaskan bahwa kalimat “Wahuwa makânahu” dalam hadits di atas, bukan berarti bahwa Allah ada di tempat itu, tetapi Nabi-lah yang berada di tempatnya semula meneriwa wahyu shalat 50 kali sehari. Imam al-Hafidz Al-Qasthalani menjelaskan: فقال) عليه الصلاة والسلام (وهو مكانه) أي في مقامه الأوّل الذي قام فيه قبل هبوطه “Dia berada di tempatnya, maksudnya Nabi Muhammad berada di tempatnya yang awalnya di tempati sebelum turunnya.” (al-Qasthalani, Irsyâd as-Sârî Lisyarh Shahîh al-Bukhârî, juz X, halaman 449) Demikian juga Imam al-Hafidz Ibnu Hajar menegaskan makna “tempat” di hadits Mi’raj itu dengan menukil pernyataan Imam al-Khattabi lalu menguatkannya sebagaimana berikut: قَالَ الْخَطَّابِيُّ ... وَالْمَكَانُ لَا يُضَافُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى إِنَّمَا هُوَ مَكَانُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَقَامِهِ الْأَوَّلِ الَّذِي قَامَ فِيهِ قَبْلَ هُبُوطِهِ انْتَهَى وَهَذَا الْأَخِيرُ مُتَعَيَّنٌ وَلَيْسَ فِي السِّيَاقِ تَصْرِيحٌ بِإِضَافَةِ الْمَكَانِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى “Al-Khattabi berkata: ... Tempat itu tak disandarkan pada Allah Ta’ala, sesungguhnya itu tak lain adalah tempat Nabi ﷺ di tempat berdirinya sebelumnya sebelum turun. Ini akhir nukilan al-Khattabi. Keterangan terakhir ini sudah pasti dan dalam konteks hadits sama sekali tak ada penjelasan penisbatan tempat itu pada Allah Ta’ala.” (Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, juz XIII, halaman 484) Lalu untuk apa Nabi dipanggil ke langit untuk Isra’-Mi’raj? Jawabannya dapat kita lihat dalam surat al-Isra’: 1, yaitu untuk memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya (linuriyahu min âyâtinâ). Sedangkan saat Nabi telah naik ke langit, maka Allah juga memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah yang jauh lebih besar lagi (laqad ra'â min âyâti rabbihi al-kubrâ), QS. An-Najm: 18. Demikianlah penuturan al-Qur'an yang seharusnya kita terima bulat-bulat bahwa isra' dan mi'raj itu hanya soal memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah, bukan dalam rangka membawa Nabi ke “tempat Allah.” Selain itu, para ulama menunjukkan hikmah bahwa peristiwa ini untuk menunjukkan keagungan shalat sehingga perintahnya diberikan di langit sana, bukan di bumi seperti perintah lainnya. Mereka yang memaksakan diri barkata bahwa Mi'raj adalah pembuktian keberadaan Allah secara fisik di langit akan mengalami kontradiksi dengan keyakinan mereka sendiri. Di antara kontradiksinya adalah: 1. Apabila dimaknai bahwa Nabi Muhammad menemui Allah di Arasy, maka bukankah itu berarti mengatakan bahwa ketinggian Allah bisa dicapai juga oleh makhluk? Lalu apa spesialnya sifat ‘uluw yang biasa mereka maknai sebagai ketinggian fisik untuk Allah kalau akhirnya bisa juga dicapai oleh seorang manusia? 2. Mereka yang menganggap Allah bertempat di atas langit juga mengatakan bahwa lokasi Allah terpisah dari makhluknya (bâ'inun min khalqihi) dalam arti terpisah lokasinya dari makhluk, namun kenapa dalam kasus mi'raj mengatakan bahwa Allah berada dalam satu tempat dengan Nabi? 3. Sebagian orang yang menganggap Allah bertempat di atas langit juga mengatakan bahwa tempat Allah itu pada hakikatnya adalah tempat ketiadaan (al-makân al-'adami) yang tak ada batasnya, tapi kenapa dalam kasus Mi'raj justru menyatakan berada dalam satu tempat dengan Nabi? Apakah Nabi yang keberadaannya berbetuk fisik itu juga juga bisa berada di tempat ketiadaan itu? 4. Di sisi lain Allah dianggap turun setiap sepertiga malam terakhir ke langit dunia (langit pertama) secara hakikat, lalu kenapa saat itu Allah ada di atas sana padahal di bumi sedang ada lokasi yang mengalami sepertiga malam terakhir? Memangnya Allah ada berapa? Kenapa tak menemui Allah di langit dunia saja kalau demikian? Itulah sederet inkonsistensi mereka yang memahami peristiwa mi'raj dengan cara sederhana dengan mengira bahwa hukum alam yang sejatinya khusus bagi manusia juga harus berlaku pada Allah. Semua inkonsistensi di atas akan terpecahkan ketika mengikuti pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah bahwa Allah tak bertempat, tak terbatas ruang, tak bergerak, dan kemahatinggiannya tidak boleh dipahami secara fisik. Berbagai dalil-dalil dan paparan ulama dalam hal ini telah dipaparkan dalam kajian-kajian sebelumnya. Wallahu a'lam.
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
@@sunucruise Dalam berbagai kitab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelajari di pesantren, banyak sekali penjelasan bahwa peristiwa Mi’raj atau naiknya Nabi Muhammad ke langit untuk menerima wahyu shalat tak menunjukkan bahwa Dzat Allah bertempat di atas, atau di arah manapun. Namun seiring maraknya penulis-penulis konten keislaman yang tak paham khazanah pesantren, marak pula informasi yang tidak tepat perihal Mi’raj yang kemudian dianggap sebagai bukti bahwa Allah berada secara fisik di atas langit. Bertebaran pula meme-meme salah paham seperti itu. Bagaimana sebenarnya kita harus memahami kejadian Mi’raj? Mi'raj adalah berangkatnya Nabi Muhammad ke atas sidratul muntaha. Beliau menerima perintah shalat di sana. Sepanjang penelurusan penulis, tak ada penyebutan Arasy dalam ayat atau hadits-hadits Mi’raj. Kejadian Mi’raj ini sebenarnya sama dengan peristiwa ketika Nabi Musa mendapat perintah langsung dari Allah di puncak gunung Tursina (QS. Thaha: 10-36). Semua kisah ini berbicara tentang tempat hamba Allah menerima wahyu, bukan tentang tempat Allah. Dikisahkan bahwa Nabi bolak balik dari tempatnya di atas sidratul muntaha ke tempatnya Nabi Musa di langit ke tujuh lalu ke atas lagi untuk memohon keringanan. Dalam riwayat-riwayat sahih kita dapati bahwa yang naik turun adalah Nabi Muhammad. Beliau naik ke tempat ia menerima wahyu dan turun ke tempat Nabi Musa lalu naik lagi ke tempat menerima wahyu sebelumnya dan itu terjadi berulang-ulang. Tempat yang kita bicarakan ini adalah tempat Nabi sendiri, bukan tempat Allah. Kalau Allah mau, Dia bisa memberikan wahyunya secara langsung di manapun hambanya berada seperti yang terjadi pada JIbril yang menerima wahyu dari Allah di mana pun ia berada secara langsung. Sama sekali tak ada bahasan tentang tempat Allah dalam riwayat-riwayat itu kecuali dalam persangkaan orang yang salah paham yang menyangka bahwa bagi Allah juga berlaku hukum alam sebagaimana yang kita kenal di dunia ini. Dalam benak mereka, tatkala kita berbicara dengan seorang manusia, maka pastilah orang itu berada di suatu tempat sebagaimana kita juga berada di suatu tempat. Maka ketika Allah berfirman pada hamba-Nya di langit kemudian disimpulkan bahwa Allah juga berada dalam suatu tempat, yang dalam hal ini adalah langit. Tak pernahkah mereka membaca sekian banyak riwayat yang berisi tentang tempat Malaikat Jibril menerima wahyu di mana saja? Lalu apa yang mereka pikirkan tentang itu? Tak ingatkah bahwa Nabi Musa "bertemu" dan berdialog dengan Allah di gunung Tursina? maka apa yang bisa disimpulkan dari itu? Apakah berarti Allah sering berpindah tempat dari langit ke bumi dan muat di dalamnya? Padahal, kita sendiri juga sering bolak-balik pergi masjid hanya untuk menyampaikan untaian doa yang kita panjatkan ke Allah. Bahkan banyak dari kita menabung supaya bisa bolak-balik ke Masjidil Haram untuk melakukannya. Apakah dari sini lantas bisa disimpulkan bahwa kita meyakini Dzat Allah berada di dalam Masjid atau di dalam Ka'bah? Tentu tidak demikian. Kita juga mengenal arti istilah "mendekatkan diri kepada Allah" atau taqarrub yang sama sekali tak bermakna mendekat secara fisik. Lalu kenapa dalam peristiwa Mi'raj kata mendekatkan diri lantas berubah menjadi mendekat secara fisik? Tentu hal ini tak beralasan. Demikianlah para ulama Ahlussunnah seluruhnya memahami peristiwa Isra’-Mi’raj. Ketika mereka menceritakan kisah “tawar menawar” jumlah shalat sebagaimana riwayat Imam Bukhari berikut ini: فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جِبْرِيلَ كَأَنَّهُ يَسْتَشِيرُهُ فِي ذَلِكَ، فَأَشَارَ إِلَيْهِ جِبْرِيلُ: أَنْ نَعَمْ إِنْ شِئْتَ، فَعَلاَ بِهِ إِلَى الجَبَّارِ، فَقَالَ وَهُوَ مَكَانَهُ: يَا رَبِّ خَفِّفْ عَنَّا فَإِنَّ أُمَّتِي لاَ تَسْتَطِيعُ هَذَا “Kemudian Nabi menoleh ke arah Jibril seakan bermusyawarah tentang hal itu. Kemudian Jibril mengisyaratkan pada beliau: “Ya, bila Anda menghendaki [permohonan untuk dikurangi].” Lalu Nabi naik pada Tuhan sedangkan ia di tempatnya dan berkata: Ya Tuhan, ringankanlah dari kami. Sesungguhnya umatku tak mampu melakukan ini...” (HR. Bukhari) Para ulama menjelaskan bahwa kalimat “Wahuwa makânahu” dalam hadits di atas, bukan berarti bahwa Allah ada di tempat itu, tetapi Nabi-lah yang berada di tempatnya semula meneriwa wahyu shalat 50 kali sehari. Imam al-Hafidz Al-Qasthalani menjelaskan: فقال) عليه الصلاة والسلام (وهو مكانه) أي في مقامه الأوّل الذي قام فيه قبل هبوطه “Dia berada di tempatnya, maksudnya Nabi Muhammad berada di tempatnya yang awalnya di tempati sebelum turunnya.” (al-Qasthalani, Irsyâd as-Sârî Lisyarh Shahîh al-Bukhârî, juz X, halaman 449) Demikian juga Imam al-Hafidz Ibnu Hajar menegaskan makna “tempat” di hadits Mi’raj itu dengan menukil pernyataan Imam al-Khattabi lalu menguatkannya sebagaimana berikut: قَالَ الْخَطَّابِيُّ ... وَالْمَكَانُ لَا يُضَافُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى إِنَّمَا هُوَ مَكَانُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَقَامِهِ الْأَوَّلِ الَّذِي قَامَ فِيهِ قَبْلَ هُبُوطِهِ انْتَهَى وَهَذَا الْأَخِيرُ مُتَعَيَّنٌ وَلَيْسَ فِي السِّيَاقِ تَصْرِيحٌ بِإِضَافَةِ الْمَكَانِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى “Al-Khattabi berkata: ... Tempat itu tak disandarkan pada Allah Ta’ala, sesungguhnya itu tak lain adalah tempat Nabi ﷺ di tempat berdirinya sebelumnya sebelum turun. Ini akhir nukilan al-Khattabi. Keterangan terakhir ini sudah pasti dan dalam konteks hadits sama sekali tak ada penjelasan penisbatan tempat itu pada Allah Ta’ala.” (Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, juz XIII, halaman 484) Lalu untuk apa Nabi dipanggil ke langit untuk Isra’-Mi’raj? Jawabannya dapat kita lihat dalam surat al-Isra’: 1, yaitu untuk memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya (linuriyahu min âyâtinâ). Sedangkan saat Nabi telah naik ke langit, maka Allah juga memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah yang jauh lebih besar lagi (laqad ra'â min âyâti rabbihi al-kubrâ), QS. An-Najm: 18. Demikianlah penuturan al-Qur'an yang seharusnya kita terima bulat-bulat bahwa isra' dan mi'raj itu hanya soal memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah, bukan dalam rangka membawa Nabi ke “tempat Allah.” Selain itu, para ulama menunjukkan hikmah bahwa peristiwa ini untuk menunjukkan keagungan shalat sehingga perintahnya diberikan di langit sana, bukan di bumi seperti perintah lainnya. Mereka yang memaksakan diri barkata bahwa Mi'raj adalah pembuktian keberadaan Allah secara fisik di langit akan mengalami kontradiksi dengan keyakinan mereka sendiri. Di antara kontradiksinya adalah: 1. Apabila dimaknai bahwa Nabi Muhammad menemui Allah di Arasy, maka bukankah itu berarti mengatakan bahwa ketinggian Allah bisa dicapai juga oleh makhluk? Lalu apa spesialnya sifat ‘uluw yang biasa mereka maknai sebagai ketinggian fisik untuk Allah kalau akhirnya bisa juga dicapai oleh seorang manusia? 2. Mereka yang menganggap Allah bertempat di atas langit juga mengatakan bahwa lokasi Allah terpisah dari makhluknya (bâ'inun min khalqihi) dalam arti terpisah lokasinya dari makhluk, namun kenapa dalam kasus mi'raj mengatakan bahwa Allah berada dalam satu tempat dengan Nabi? 3. Sebagian orang yang menganggap Allah bertempat di atas langit juga mengatakan bahwa tempat Allah itu pada hakikatnya adalah tempat ketiadaan (al-makân al-'adami) yang tak ada batasnya, tapi kenapa dalam kasus Mi'raj justru menyatakan berada dalam satu tempat dengan Nabi? Apakah Nabi yang keberadaannya berbetuk fisik itu juga juga bisa berada di tempat ketiadaan itu? 4. Di sisi lain Allah dianggap turun setiap sepertiga malam terakhir ke langit dunia (langit pertama) secara hakikat, lalu kenapa saat itu Allah ada di atas sana padahal di bumi sedang ada lokasi yang mengalami sepertiga malam terakhir? Memangnya Allah ada berapa? Kenapa tak menemui Allah di langit dunia saja kalau demikian? Itulah sederet inkonsistensi mereka yang memahami peristiwa mi'raj dengan cara sederhana dengan mengira bahwa hukum alam yang sejatinya khusus bagi manusia juga harus berlaku pada Allah. Semua inkonsistensi di atas akan terpecahkan ketika mengikuti pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah bahwa Allah tak bertempat, tak terbatas ruang, tak bergerak, dan kemahatinggiannya tidak boleh dipahami secara fisik. Berbagai dalil-dalil dan paparan ulama dalam hal ini telah dipaparkan dalam kajian-kajian sebelumnya. Wallahu a'lam.
@jamaalayob9872
@jamaalayob9872 6 ай бұрын
ISTIWA' Maknanya bukan "bersemayam "spt dlm arti terjemahan. ttp dalam bahasa arab adlh "Maha Tinggi diatas arsy-Nya..sesuai dengan Ketinggian dan Keagungngan-Nya..tidak perlu di takwil..karena Allah sendiri yg Mengabarkan dalam Al quran. Wallahu'alam.
@PencariBarokah-vp9xh
@PencariBarokah-vp9xh 6 ай бұрын
Dalam berbagai kitab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelajari di pesantren, banyak sekali penjelasan bahwa peristiwa Mi’raj atau naiknya Nabi Muhammad ke langit untuk menerima wahyu shalat tak menunjukkan bahwa Dzat Allah bertempat di atas, atau di arah manapun. Namun seiring maraknya penulis-penulis konten keislaman yang tak paham khazanah pesantren, marak pula informasi yang tidak tepat perihal Mi’raj yang kemudian dianggap sebagai bukti bahwa Allah berada secara fisik di atas langit. Bertebaran pula meme-meme salah paham seperti itu. Bagaimana sebenarnya kita harus memahami kejadian Mi’raj? Mi'raj adalah berangkatnya Nabi Muhammad ke atas sidratul muntaha. Beliau menerima perintah shalat di sana. Sepanjang penelurusan penulis, tak ada penyebutan Arasy dalam ayat atau hadits-hadits Mi’raj. Kejadian Mi’raj ini sebenarnya sama dengan peristiwa ketika Nabi Musa mendapat perintah langsung dari Allah di puncak gunung Tursina (QS. Thaha: 10-36). Semua kisah ini berbicara tentang tempat hamba Allah menerima wahyu, bukan tentang tempat Allah. Dikisahkan bahwa Nabi bolak balik dari tempatnya di atas sidratul muntaha ke tempatnya Nabi Musa di langit ke tujuh lalu ke atas lagi untuk memohon keringanan. Dalam riwayat-riwayat sahih kita dapati bahwa yang naik turun adalah Nabi Muhammad. Beliau naik ke tempat ia menerima wahyu dan turun ke tempat Nabi Musa lalu naik lagi ke tempat menerima wahyu sebelumnya dan itu terjadi berulang-ulang. Tempat yang kita bicarakan ini adalah tempat Nabi sendiri, bukan tempat Allah. Kalau Allah mau, Dia bisa memberikan wahyunya secara langsung di manapun hambanya berada seperti yang terjadi pada JIbril yang menerima wahyu dari Allah di mana pun ia berada secara langsung. Sama sekali tak ada bahasan tentang tempat Allah dalam riwayat-riwayat itu kecuali dalam persangkaan orang yang salah paham yang menyangka bahwa bagi Allah juga berlaku hukum alam sebagaimana yang kita kenal di dunia ini. Dalam benak mereka, tatkala kita berbicara dengan seorang manusia, maka pastilah orang itu berada di suatu tempat sebagaimana kita juga berada di suatu tempat. Maka ketika Allah berfirman pada hamba-Nya di langit kemudian disimpulkan bahwa Allah juga berada dalam suatu tempat, yang dalam hal ini adalah langit. Tak pernahkah mereka membaca sekian banyak riwayat yang berisi tentang tempat Malaikat Jibril menerima wahyu di mana saja? Lalu apa yang mereka pikirkan tentang itu? Tak ingatkah bahwa Nabi Musa "bertemu" dan berdialog dengan Allah di gunung Tursina? maka apa yang bisa disimpulkan dari itu? Apakah berarti Allah sering berpindah tempat dari langit ke bumi dan muat di dalamnya? Padahal, kita sendiri juga sering bolak-balik pergi masjid hanya untuk menyampaikan untaian doa yang kita panjatkan ke Allah. Bahkan banyak dari kita menabung supaya bisa bolak-balik ke Masjidil Haram untuk melakukannya. Apakah dari sini lantas bisa disimpulkan bahwa kita meyakini Dzat Allah berada di dalam Masjid atau di dalam Ka'bah? Tentu tidak demikian. Kita juga mengenal arti istilah "mendekatkan diri kepada Allah" atau taqarrub yang sama sekali tak bermakna mendekat secara fisik. Lalu kenapa dalam peristiwa Mi'raj kata mendekatkan diri lantas berubah menjadi mendekat secara fisik? Tentu hal ini tak beralasan. Demikianlah para ulama Ahlussunnah seluruhnya memahami peristiwa Isra’-Mi’raj. Ketika mereka menceritakan kisah “tawar menawar” jumlah shalat sebagaimana riwayat Imam Bukhari berikut ini: فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جِبْرِيلَ كَأَنَّهُ يَسْتَشِيرُهُ فِي ذَلِكَ، فَأَشَارَ إِلَيْهِ جِبْرِيلُ: أَنْ نَعَمْ إِنْ شِئْتَ، فَعَلاَ بِهِ إِلَى الجَبَّارِ، فَقَالَ وَهُوَ مَكَانَهُ: يَا رَبِّ خَفِّفْ عَنَّا فَإِنَّ أُمَّتِي لاَ تَسْتَطِيعُ هَذَا “Kemudian Nabi menoleh ke arah Jibril seakan bermusyawarah tentang hal itu. Kemudian Jibril mengisyaratkan pada beliau: “Ya, bila Anda menghendaki [permohonan untuk dikurangi].” Lalu Nabi naik pada Tuhan sedangkan ia di tempatnya dan berkata: Ya Tuhan, ringankanlah dari kami. Sesungguhnya umatku tak mampu melakukan ini...” (HR. Bukhari) Para ulama menjelaskan bahwa kalimat “Wahuwa makânahu” dalam hadits di atas, bukan berarti bahwa Allah ada di tempat itu, tetapi Nabi-lah yang berada di tempatnya semula meneriwa wahyu shalat 50 kali sehari. Imam al-Hafidz Al-Qasthalani menjelaskan: فقال) عليه الصلاة والسلام (وهو مكانه) أي في مقامه الأوّل الذي قام فيه قبل هبوطه “Dia berada di tempatnya, maksudnya Nabi Muhammad berada di tempatnya yang awalnya di tempati sebelum turunnya.” (al-Qasthalani, Irsyâd as-Sârî Lisyarh Shahîh al-Bukhârî, juz X, halaman 449) Demikian juga Imam al-Hafidz Ibnu Hajar menegaskan makna “tempat” di hadits Mi’raj itu dengan menukil pernyataan Imam al-Khattabi lalu menguatkannya sebagaimana berikut: قَالَ الْخَطَّابِيُّ ... وَالْمَكَانُ لَا يُضَافُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى إِنَّمَا هُوَ مَكَانُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَقَامِهِ الْأَوَّلِ الَّذِي قَامَ فِيهِ قَبْلَ هُبُوطِهِ انْتَهَى وَهَذَا الْأَخِيرُ مُتَعَيَّنٌ وَلَيْسَ فِي السِّيَاقِ تَصْرِيحٌ بِإِضَافَةِ الْمَكَانِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى “Al-Khattabi berkata: ... Tempat itu tak disandarkan pada Allah Ta’ala, sesungguhnya itu tak lain adalah tempat Nabi ﷺ di tempat berdirinya sebelumnya sebelum turun. Ini akhir nukilan al-Khattabi. Keterangan terakhir ini sudah pasti dan dalam konteks hadits sama sekali tak ada penjelasan penisbatan tempat itu pada Allah Ta’ala.” (Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, juz XIII, halaman 484) Lalu untuk apa Nabi dipanggil ke langit untuk Isra’-Mi’raj? Jawabannya dapat kita lihat dalam surat al-Isra’: 1, yaitu untuk memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya (linuriyahu min âyâtinâ). Sedangkan saat Nabi telah naik ke langit, maka Allah juga memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah yang jauh lebih besar lagi (laqad ra'â min âyâti rabbihi al-kubrâ), QS. An-Najm: 18. Demikianlah penuturan al-Qur'an yang seharusnya kita terima bulat-bulat bahwa isra' dan mi'raj itu hanya soal memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah, bukan dalam rangka membawa Nabi ke “tempat Allah.” Selain itu, para ulama menunjukkan hikmah bahwa peristiwa ini untuk menunjukkan keagungan shalat sehingga perintahnya diberikan di langit sana, bukan di bumi seperti perintah lainnya. Mereka yang memaksakan diri barkata bahwa Mi'raj adalah pembuktian keberadaan Allah secara fisik di langit akan mengalami kontradiksi dengan keyakinan mereka sendiri. Di antara kontradiksinya adalah: 1. Apabila dimaknai bahwa Nabi Muhammad menemui Allah di Arasy, maka bukankah itu berarti mengatakan bahwa ketinggian Allah bisa dicapai juga oleh makhluk? Lalu apa spesialnya sifat ‘uluw yang biasa mereka maknai sebagai ketinggian fisik untuk Allah kalau akhirnya bisa juga dicapai oleh seorang manusia? 2. Mereka yang menganggap Allah bertempat di atas langit juga mengatakan bahwa lokasi Allah terpisah dari makhluknya (bâ'inun min khalqihi) dalam arti terpisah lokasinya dari makhluk, namun kenapa dalam kasus mi'raj mengatakan bahwa Allah berada dalam satu tempat dengan Nabi? 3. Sebagian orang yang menganggap Allah bertempat di atas langit juga mengatakan bahwa tempat Allah itu pada hakikatnya adalah tempat ketiadaan (al-makân al-'adami) yang tak ada batasnya, tapi kenapa dalam kasus Mi'raj justru menyatakan berada dalam satu tempat dengan Nabi? Apakah Nabi yang keberadaannya berbetuk fisik itu juga juga bisa berada di tempat ketiadaan itu? 4. Di sisi lain Allah dianggap turun setiap sepertiga malam terakhir ke langit dunia (langit pertama) secara hakikat, lalu kenapa saat itu Allah ada di atas sana padahal di bumi sedang ada lokasi yang mengalami sepertiga malam terakhir? Memangnya Allah ada berapa? Kenapa tak menemui Allah di langit dunia saja kalau demikian? Itulah sederet inkonsistensi mereka yang memahami peristiwa mi'raj dengan cara sederhana dengan mengira bahwa hukum alam yang sejatinya khusus bagi manusia juga harus berlaku pada Allah. Semua inkonsistensi di atas akan terpecahkan ketika mengikuti pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah bahwa Allah tak bertempat, tak terbatas ruang, tak bergerak, dan kemahatinggiannya tidak boleh dipahami secara fisik. Berbagai dalil-dalil dan paparan ulama dalam hal ini telah dipaparkan dalam kajian-kajian sebelumnya. Wallahu a'lam.
@impalawati6117
@impalawati6117 4 ай бұрын
Maaf saya ingin bertanya, apakah tempah singgah sana sini nya Allah lebih besar dari Allah? Apakah tempat Allah bersemayam lebih besar daripada Allah? Apakah tempat tinggalnya Allah lebih besar daripada Allah? Mohon penjelasannya sodara muslimku
@suyantoabah1941
@suyantoabah1941 2 ай бұрын
Tolong sampikan ke habib umar kalau Allah itu Maha Tinggi.. Berarti Allah diatas dan siatasnya Allah tidak sama dengan diatasnya makluk seperti Allah Maha Melihat dan Maha lainnya yg tidak sama dengan makluknya.. Ikutilah pemahaman para salaf
@adeyzas
@adeyzas 6 ай бұрын
Simple pencerahan Habib Omar. Pelik bila wahabi ckp huraian ASWJ ttg sifat Allah berbelit2 hingga mereka menolak sifat 20
@ryandydwian6006
@ryandydwian6006 2 ай бұрын
Ribet jawabannya. Kan di Quran udah jelas Allah di atas Arsy, bisa cek di QS Thaha Ayat 5.
@irfanfakhrizal9166
@irfanfakhrizal9166 2 ай бұрын
Kadang kita perlu jawaban ribet agar bisa menampung semua argumen yang dipertentangkan.
@williamrama7026
@williamrama7026 Ай бұрын
Tapi di quran Allah duduk di tahta😂😂😂. G jelas kali
@syamsuwirsiir3310
@syamsuwirsiir3310 6 ай бұрын
Subhanallah..keterangan yg sgt jelas, dan tak ada lg yg perlu di tanyakan, selain mengamalkanya, semoga guru yg mulia senantiasa dlm rahmat Allah🙏🙏🙏
@rainannabian3566
@rainannabian3566 6 ай бұрын
❤❤❤❤
@jaznchanel769
@jaznchanel769 6 ай бұрын
إن أبغض الرجال إلى الله الألد الخصم . متفق عليه “Sesungguhnya orang yang paling dimurkai oleh Allah adalah orang yang selalu mendebat.” (Riwayat Bukhari No 2457, Muslim No 2668).
MERINDING‼️Penghuni Surga Dan Neraka‼️| Habib Umar Bin Hafidz
26:00
AkhmadFaizalAmir TV
Рет қаралды 106 М.
Haha😂 Power💪 #trending #funny #viral #shorts
00:18
Reaction Station TV
Рет қаралды 14 МЛН
Универ. 13 лет спустя - ВСЕ СЕРИИ ПОДРЯД
9:07:11
Комедии 2023
Рет қаралды 6 МЛН
Мы никогда не были так напуганы!
00:15
Аришнев
Рет қаралды 3,7 МЛН
FULL QARIAH VIRALL YANG BACAANNYA DIKOMENTARI SYAIKH DR. AIMAN RUSYDI
5:57
SAHARUDDIN CHANNEL
Рет қаралды 681 М.
Minal hadirin ya habibana....🤲🤲🤲
1:31
AL-FATIH FARM
Рет қаралды 265
Hukum Berwudhu Di Toilet  - Ustadz Adi Hidayat
9:23
Adi Hidayat Official
Рет қаралды 4,1 МЛН
HABIB RIZIEQ SYIHAB JELASKAN NASAB BA'ALAWI DAN AHLUL BAIT
25:09
Hidayah Robbi
Рет қаралды 11 М.
Apakah Wali Songo Keturunan Dari Nabi Muhammad SAW - Ustadz Adi Hidayat, Lc,.MA
15:14
SAYYID SEIF ALWI BUKA BUKAAN PEMBENCI & PEMBELA HABAIB
6:13
Sayyid Seif Alwi
Рет қаралды 430 М.