Рет қаралды 1,816
• PALINGGIH MENJANGAN SA...
PALINGGIH MENJANGAN SALUANG
#TotelTentangMenjangan
#PalinggihMenjanganSaluang
#MenjanganDanMpuKuturan
Dalam areal tempat pemujaan masyarakat Hindu di Bali pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya terdapat beberapa bangunan, yang memiliki bentuk, penempatan, dan arti dan fungsi masing-masing, di antaranya disebut palinggih Rong Tiga, Taksu, Pangelurah, Padmasari , Padmasana, dan sebagainya (telah dibahas pada konten-konten sebelumnya). Di luar merajan atau sanggah juga dibangun palinggih penunggun karang, indra plaka, dan pelinggih lain yang dianggap perlu. Selain bangunan umum itu, ditemukan juga sebuah palinggih yang sejajar dengan lokasi palinggih taksu, catu meres catu munjung dan Padma (di sebelah utara jika di Bali Selatan). Bangunan palinggih majangan saluang berbentuk bangunan rong siki (bangunan satu ruang) yang di depan tiang bangunan ditempeli dengan patung kepala menjangan. Bangunan ini dinyasakan untuk menghormati Menjangan yang telah membantu Mpu Kuturan yang memiliki jasa terhadap perkembangan peradaban Hindu di Bali. Mpu Kuturan salah seorang Rsi yang datang dari Jawa pada abad ke 10 hingga abad ke 11 Masehi, masa pemerintahan raja Udayana dari dinasti Warmadewa. Salah satu jasa Mpu Kuturan adalah menyatukan sekte-sekte menjadi agama Hindu Siwa-Boda, dengan pemujaan terhadap Tuhan yang disebut Tri Murti, kepercayaan terhadap yakni Dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa. Di samping itu, Mpu Kuturan juga dikenal yang menata sistem desa adat di Bali. Oleh karena itu, pembahasan mengenai palinggih menjangan seluang tidak bisa dilepaskan dari perjalanan Mpu Kuturan dari Jawa ke Bali. Sumber pelinggih Menjangan Seluang yang pertama sejarah perjalanan Ida Mpu Kuturan serta tattwa dalam bentuk lontar, yaitu Barong Swari. Pertama, secara historis diceritakan bahwa ketika Mpu Kuturan tiba di Gilimanuk, beliau bingung mencari jalan menuju arah Timur. Tiba-tiba muncul seekor Binatang bertanduk yang disebut Manjangan menawarkan dirinya untuk mengantarkan Mpu Kuturan berjalan dan menyeruak hutan lebat yang dilaluinya. Karena Mpu Kuturan untuk pertama kali menunggang binatang Menjangan, maka beliau berpegangan erat-erat pada leher binatang Menjangan, sampai-sampai leher Menjangan tercekik pegangan beliau. Itu sebabnya di daerah itu sampai hari ini disebut dengan desa Cekik. Menjangan terus mengantarkan beliau menuju rah Timur, sementara Mpu Kuturan juga tetap memegang erat-erat leher Sang Menjangan. Saking eratnya (kelet, dalam Bahasa Bali, berarti erat) beliau memegang leher sampai-sampai Sang Menjangan tidak bisa leluasa bergerak, maka Sang Menjangan dan Mpu Kuturan berhenti dan beristirahat sejenak. Desa ini hingga sekarang dikenal dengan desa Kelatakan. Selanjutnya Mpu Kuturan turun dari punggung Menjangan terus berjalan (melaja) ke arah Timur, sementara Sang Menjangan berada di depannya untuk mencarikan arah dan jalan menuju ke Timur. Tempat beliau turun sambil berjalan ini kemudian diberi nama dengan desa Melaya dan sekarang Kecamatan Melaya. Mengingat Jembrana itu daerah memiliki hutan sangat luas dan lebat (jimbarwana), maka Sang Menjangan berkata kepada Mpu Kuturan, bahwa Ia akan mengantarkan Mpu Kuturan sampai daerah terang (galang), jika sudah sampai di daerah yang terang, maka ia akan kembali ke dalam hutan di wilayah Jimbarwana. Sang Menjangan terus berjalan ke arah Timur sampai di daerah Mendoyo (yang diperkirakan berasal dari kata Mando Yo berarti angin). Sang Menjangan terus berjalan sehingga sampai di daerah Pekutatan, dan karena di Pekutatan telah kelihatan enjung kuta (kota-kota, desa-desa), di situlah Sang Menjangan memohon diri kepada Mpu Kuturan untuk kembali ke hutan Jimbarwana. Sebelum Sang Menjangan kembali ke hutan, Mpu Kuturan berpesan bahwa “kelak engkau akan dihormati karena jasa-jasa dan kebaikanmu”. Itulah sebabnya, dibanguna palinggih Menjangan Saluang sebagai bukti hormat pada jasa Sang Menjangan. Akhirnya, sepeninggal Sang Menjangan, maka Mpu Kuturan meneruskan perjalan sendiri. Tempat Mpu Kuturan memulai perjalanan sendiri, hingga saat ini disebut dengan desa Pengeragoan (ngeraga, artinya sendiri). Perjalanan Panjang, membuat Lelah Mpu Kuturan, lalu beliau istirahat di Yeh Leh. Beliau istirahat dan mandi di Sungai yang airnya jernih, yang sekarang disebut Yeh Leh. Desa-desa yang dilalui oleh perjalanan Mpu Kuturan adalah nama hasil tinggalan historis perjalanan Mpu Kuturan abad 10 hingga 11 Masehi. Selanjutkan menurut Tattwa lontar Barong Swari dijelaskan bahwa pemujaan terhadap Menjangan sebagai refleksi ‘sarana’ menuju kesucian dan penyatuan dengan Ida Bhatara Siwa.
Bagaimana penjelasan selanjutnya, silahkan simak sesuluh Yudha Triguna melalui Yudha Triguna Channel pada KZbin, juga pada Dharma wacana agama Hindu.
Untuk mendapatkan video-video terbaru silahkan Subscribe
www.youtube.co...
Facebook: yudhatriguna
Instagram: / yudhatrigunachannel