Рет қаралды 931
• SEGI TIGA KULINER DALA...
SEGI TIGA KULINER DALAM BANTEN
#MempersembahkanMakanan,
#ATigaJenisMakananYangDipersembahkanDalamBanten
#BantenSebagaiSimbolPersembahanDiri
Tuhan sebagai tak terpikirkan (Acintya) dalam Hindu divisualisasi dalam berbagai simbol. Simbol yang umum digunakan berwujud banten atau sesajen. Dalam Lontar Yadnya Prakerti “sahananing bebanten pinaka raganta twi, pinaka warna rupning Ida Bhattara, pinaka andabhuana” maksudnya banten itu adalah simbol diri sendiri, simbol kemahakuasaan Tuhan, dan simbol alam semesta. Sebagian bahan banten merupakan makanan yang dibentuk beraneka seperti halnya dalam pola seni kuliner yang disebut dalam teori Levi’ Strauss disebut Triangle Culinaire. Tubuh manusia dibagi tiga bagian (Triangga), yaitu bagian kepala, badan, dan kaki. Dalam satu soroh banten yang lengkap, sebagai simbol juga terdiri dari banten hulu sebagai kepala (misalnya: canang, pejati, suci, Dewa-Dewi, dan catur); banten ayaban sebagai badan (misalnya: rayunan, ajuman, banten tipat, banten tumpeng, sorohan pamereman/pakoleman, dan sorohan pabangkit); sedangkan banten caru sebagai kaki (misalnya: segehan, caru ekasata, caru pancasata, sampai bermacam-macam tawur). Lalu bagaimana banten dikaitkan dengan Triangle Culinaire (segi tiga kuliner) ? Banten yang paling umum yaitu banten ayaban, dari yang terkecil sampai terbesar bahan-bahan pokoknya adalah nasi (ajengan), daging (ulam), dan buah-buahan (woh-wohan). Hal itu menunjukkan bahwa inti dari bahan banten ayaban adalah bahan pangan manusia. Ketiganya dalam seni memasak disebut segitiga kuliner. Jenis-jenis banten ayaban: rayunan, ajuman, dampulan, kelanan, pejati, dan sorohan pejati. Banten ayaban: peras tumpeng bungkul, tumpeng kalih, salaran (serba mentah). Banten ayaban: sorohan pamereman, sorohan pabangkit, dan sorohan pabangkit dengan pulegembal. Banten ayaban utama: Sorohan pabangkit dengan sarad agung, saji tungguh serta sate wayang; sorohan pabangkit dengan sarad agung, palabungkah-palagantung, dan ulam/gayah utuh selam. Levi Strauss dalam Triangle Culinaire menyatakan makanan manusia terdiri dari tiga jenis yaitu makanan yang melalui proses pemasakan, makanan yang melalui proses fermentasi, dan makanan mentah (bebas dari proses). Makanan tersebut jika diklasifikasi bisa dikategorikan menjadi dua jenis yaitu makanan ‘kena proses’ dan makanan ‘bebas proses’. Makanan ‘kena proses’ dibedakan menjadi dua macam yaitu karena proses oleh manusia (dimasak) dan proses alamiah (fermentasi). Dari dua golongan ekstrim tadi (rwabhineda) dicari makanan antara yang mengandung ciri-ciri keduanya. Golongan makanan mentah itu adalah buah-buahan (woh-wohan atau palabungkah-palagantung). Jika teori ini dikaitkan dengan unsur-unsur makanan pokok manusia yang berupa nasi, daging, dan buah-buahan telah digunakan oleh umat Hindu sebagai materi pokok banten dibuat dalam bentuknya yang lain dengan sentuhan rasa seni didasari budaya Bali dan ajaran Hindu untuk persembahan. Banten dipersembahan berupa ajengan (dibentuk menjadi pangkonan, tipat, tumpeng, pulegembal, sarad agung); ulam (telor, ayam, itik, daging babi dibentuk menjadi jatah jerimpen atau sate wayang), dan woh-wohan atau phalabungkah-phalagantung (bentuknya menjadi gantung-gantungan, pajegan, gebogan, saji tungguh, atau diwujudkan seperti barong). Ketiga bahan pokok tadi jika ditata dikenal dengan sebutan segitiga kuliner dalam seni tataboga, sebagaimana disebutkan teori Triangle Culinaire Levi’ Strauss. Persembahan berupa banten, khususnya banten ayaban yang bahan dasarnya nasi, daging, dan buah-buahan mewakili makanan manusia yang berarti pula mewakili tubuh manusia, sebagai simbol tubuhnya (bebantenan pinaka raganta twi). Secara filsafati konsep yadnya yang sesungguhnya, umat Hindu sepatutnya mempersembahkan ‘dirinya sendiri’ dalam hal ini diwakili dengan makanan yang sebenarnya makanan itu berasal dari anugerah Tuhan. Anugerah itulah yang dipersembahkan kembali. Hal ini dipertegas kitab Bhagawad Gita III.12-13 menyebutkan jika umat memuja Tuhan maka ia akan menerima anugerah-Nya, sebaliknya mereka yang tidak membalas anugerah ini sebenarnya adalah pencuri. Yang baik adalah makan setelah melaksanakan persembahan, jika orang menyediakan makanan hanya untuk dirinya sendiri sesungguhnya ia memakan dosanya. Dengan demikian pelaksanaan upacara yadnya dengan persembahan benda materi khususnya banten memiliki dasar yang kuat sesuai petunjuk sastra Weda sebagaimana dijabarkan dalam lontar-lontar maupun kitab suci lainnya (Bhagawad Gita).
Bagaimana penjelasan selanjutnya, silahkan simak sesuluh Yudha Triguna melalui Yudha Triguna Channel pada KZbin, juga pada Dharma wacana agama Hindu.
Untuk mendapatkan video-video terbaru silahkan Subscribe
www.youtube.co...
Facebook: yudhatriguna
Instagram: / yudhatrigunachannel